Oleh Bustomi, S.Ag., M.Pd
Dosen IAIN Bengkulu
Pendidikan - Salah satu aspek penting dalam kegiatan
belajar mengajar adalah membaca. Kemampuan membaca, bagaimana memahami bacaan
dengan baik, menjadi faktor penentu dalam pencapaian hasil belajar. Hal ini
karena sumber ilmu pengetahun hanya dapat digali dan dipelajari dengan membaca.
Pepatah yang mengatakan “buku adalah jendela ilmu” mungkin akan menjadi omong
kosong jika buku yang menjadi sumber ilmu itu tidak dibaca. Itulah sebabnya,
wahyu yang pertama turun kepada Nabi Muhammad saw. adalah perintah membaca.
Artinya, membaca merupakan gerbang menuju peradaban, kemajuan, dan kecerdasan,
serta keluar dari pintu kebodohan dan
kemiskinan.
Budaya membaca di negara-negara maju sangat
tinggi. Di manapun mereka berada mereka akan memerlukan bacaan sebagai teman
pribadinya. Karena itu, wajar saja jika di negeri ini dapat ditemukan beberapa
turis asing yang selalu membawa buku, novel, atau bacaan penting lainnya baik
di pantai, dalam kendaraan, atau di terminal dan stasiun. Bahkan, berjemur di
pantai sambil berpakaian yang ”tidak maksimal” pun mereka sempat-sempatnya
membaca. Pemandangan tersebut sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia yang
tidak biasa membawa bacaan dalam perjalanannya atau mungkin memang di rumah
juga bisa jadi tidak biasa membaca. Film Tom and Jerry, misalnya, walaupun film
kartun lucu anak-anak, perhatian dan kebergantungan terhadap membaca sangat ditonjolkan. Si Tom (kucing)
jika akan menangkap Jerry (tikus) selalu membuka referensi (buku), “how to
catch a cat” dan jika si Jerry sudah ditangkap lalu Tom ingin memasaknya untuk
dimakan, Tom pun membuka referensi lagi, yakni buku tentang resep masakan. Akan
tetapi, sebelum dimasak, pada saat Tom membaca, Jerry telah lepas duluan.
Kegagalan demi kegagal dalam menangkap Jerry, Tom selalu memakai teknik yang
berbeda berdasarkan petunjuk buku. Tradisi membaca, dengan mengedepankan
pendekatan ilmiah, yang ditonjolkan dalam film kartun itu mengindikasikan
budaya membaca yang telah memasyarakat di Amerika yang tentu saja berbeda dengan film-film di Indonesia.
Minimnya budaya membaca menyebabkan lemahnya
kemampuan memahami bacaan. Kegiatan membaca semestinya menjadi suatu kegemaran
dan kebutuhan bukan hanya bagi kalangan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga bagi
masyarakat luas. Namun, tampaknya bagi kalangan pelajar dan mahasiswa pun,
membaca belum menjadi kebutuhan dan kegemaran. Hanya di bebebapa kota saja,
seperti Yogyakarta dan Malang, kegiatan membaca telah menjadi hal yang
dibutuhkan. Hal ini karena kedua kota itu merupakan kota pelajar sehingga atmosfir
ilmiah dan “kemelekwacanaan kultural” telah merambah sampai ke akar rumput
masyarakat. Adanya jam belajar masyarakat
(bukan jam belajar anak-anak), taman bacaan masyarakat, pusat-pusat
pertokoan buku berkualitas dan murah, dan mading bacaan masyarakat di setiap
RT, menjadi indikator kemelekwacanaan kultural di kedua kota pelajar tersebut.
Mahasiswa, sebagai kaum
terpelajar yang selalu mengedepankan logika ilmiah dan akademis, harus memiliki
kemampuan membaca yang baik dalam setiap perkuliahannya. Idealnya, kemampuan membaca pemahaman mahasiswa tidak hanya
terbatas pada bukubuku referensi yang berbahasa Indonesia, tetapi juga
pada buku-buku yang berbahasa asing
seperti Inggris dan Arab. Idealisme tersebut sulit diwujudkan (terutama untuk
mahasiswa S-1) karena berbagai kendala, terutama jika input mereka rata-rata rendah; hanya beberapa
perguruan tinggi favorit saja, seperti UGM, ITB, IPB, UI, UIN Jogja, UIN
Malang, UIN Jakarta, dan UNAIR, yang
telah membiasakan penggunaan referensi berbahasa asing di samping referensi
berbahasa Indonesia karena kemampuan input
mereka rata-rata tinggi. Di samping idealisme tersebut, yang terpenting bagi
mahasiswa mana saja adalah bagaimana caranya memahami bacaan agar menguasai
teori-teori ilmiah dan pengetahuan lainnya sebagai wujud insan akademis. Dengan
membiasakan mem baca, perubahan intelektual dan wawasan berpikir bisa saja berubah
lebih baik walaupun input-nya biasa-biasa saja.
Saat ini, gairah membaca
atau lebih ekstrem lagi “kultur membaca” mahasiswa telah pudar. Hal ini paling
tidak dapat diamati dari beberapa hal. Pertama, biaya pendidikan mahasiswa yang rata-rata ngekos yang pada
mulanya memiliki cost untuk membeli buku, saat ini tersedot untuk membeli
pulsa. Kebutuhan ini bahkan dianggap bukan hanya kebutuhan sekunder, tetapi
kebutuhan primer. Setiap mahasiswa dapat dipastikan memiliki handpone, bahkan sangat banyak yang memiliki smartphone
seperti Blackbarry atau Android yang tentu saja kebutuhan untuk membeli paket
online fasilitas smartphone tersebut meningkat. Secara umum, bukan hanya
mahasiswa, masyarakat nonmahasiswa pun akan merasa kelabakan jika dalam tiga
hari, misalnya, ponselnya hilang atau tidak ada pulsanya. Lebih-lebih bagi
mahasiswa yang sedang jatuh cinta, sehari tidak menghubungi pacar, tidak mebalas
sms si dia, atau tidak membalas BBM-nya dianggap telah berpaling atau
“selingkuh”. Itu sebabnya, mahasiswa yang dalam keadaan seperti ini akan selalu
bergantung pada pulsa. Memakai HP- yang berarti juga membeli pulsamemang saat
ini tidak bisa dipungkiri. Dalam satu bulan, paling tidak, kebutuhan untuk
membeli pulsa (bagi mahasiswa) sebesar Rp. 150.000,-. Padahal, uang sebesar ini
jika digunakan untuk membeli buku bisa dapat dua buah.
Sebenarnya, bagi mahasiswa
yang kirimannya banyak, mencukupi, atau lebih, kebutuhan untuk membeli buku ini
dapat diatasi walaupun mereka juga membeli pulsa. Hanya saja, budaya membeli
buku (tentu saja untuk dibaca) menjadi tidak membudaya atau bisa jadi mereka
menganggap buku sebagai the second need. Celakanya, bagi mahasiswa yang
kiramannya paspasan atau biaya pendidikannya “terbatas”, kebutuhan membeli pulsa
pun menjadi the first need melebihi membeli buku.
Kedua, tugas-tugas
mahasiswa dapat dikerjakan lewat bantuan internet tanpa mencari, membaca, dan
menelusuri berbagai referensi yang harus dicari di perpustakaan atau di toko
buku. Saat ini, mahasiswa dapat membuat tugas yang diberikan oleh dosennya
dalam waktu semalam atau dua jam. Mahasiswa hanya cukup pergi ke warnet atau
membuka laptopnya (bagi yang punya) di hotspot area atau dengan modem, lalu
mengunduh file-file berupa artikel, makalah, atau hasil penelitian orang lain
yang berkaitan dengan topik tugas yang diberikan dosen. Jika file yang dicari
diketemukan, mahasiswa dapat mengubahnya, merombaknya, memberi cover, dan
kemudian menjilidnya untuk diserahkan kepada dosen. Pekerjaan seperti ini tentu
saja lebih mudah daripada harus mencari buku, mengutip, mengonsep dan
mengetiknya untuk sebuah makalah atau tugas yang sejenisnya.
Bantuan penelusuran
internet dalam mencari data dan informasi ilmiah, menurut penulis, dapat
mereduksi kebiasaan mahasiswa membaca buku. Karena itu, adalah sangat wajar
jika buku-buku di perpustakaan banyak yang “menganggur”, tampak kosong tidak ada cap peminjaman. Hal
ini dapat diamati dari halaman bagian peminjaman buku yang sedikit tercatat
dipinjam oleh si A atau si B. Bahkan, buku- buku yang berbahasa asing bisa jadi
akan kosong dari peminjam. Konsekuensi dari bantuan internet itu, ketika
diskusi atau seminar kelas mahasiswa hanya membacakan makalah, bukan
mempresentasikannya. Hal ini karena diduga mahasiswa belum membaca atau tidak
menelaah makalah yang diambil dari internet itu. Ini berbeda dengan makalah
yang ditulis mahasiswa karena membaca buku. Mereka telah melampaui serangkaian
kegiatan berawal dari menelusuri, membaca, dan menelaah buku dan referensi lainnya.
Ketika dipresentasikan, mereka betul-betul mampu menjelaskan dan menceritakan
makalah yang ditulisnya itu.
Ketiga, paradigma
perkuliahan telah bergeser dan berubah dari idealisme menjadi pragmatisme.
Konsekuensinya, pilihan jurusan yang diambil adalah jurusan-jurusan yang
dianggap prospektif untuk mudah mencari pekerjaan. Celakanya, paradigma
pragmatis ini ditambah lagi dengan orientasi mahasiswa yang selalu ingin diangkat
menjadi PNS jika telah menjadi sarjana. Hal ini mengakibatkan jurusan-jurusan
yang dianggap link and match dengan pasar pekerjaan menjadi kebanjiran peminat,
berbeda dengan jurusan-jurusan yang dianggap abstrak dengan masa depan yang
selalu “sepi peminat”. Karena itu, beberapa fakultas/jurusan seperti tarbiyah,
FKIP, kesehatan, komputer, keperawatan, kebidanan, dan kedokteran selalu
menjadi favorit mahasiswa. Orangtua pun bisa jadi menekankan dan bahkan memaksa
anaknya untuk masuk ke beberapa fakultas/jurusan tersebut.
Paradigma ini berimplikasi
pada perkuliahan yang selalu berorientasi pada nilai. Mutu perkuliahan yang
difasilitasi dosen boleh jadi tidak menjadi persoalan asalkan nilai yang
dikeluarkan baik. Sejak masuk perkuliahan pertama pun, yang diidam-idamkan
mahasiswa adalah “nilai A”. Hal ini, misalnya, dapat diamati dari perbincangan
mahasiswa dengan teman sejawatnya atau dengan teman seniornya. Ungkapan seperti
“hey bro..., kalo kuliah dengan Bapak...X.... enak tuh...nilainya baik-baik.
Gue aja dapat A. Emang gue gak bego-bego amat
sih..tapi gue sebetulnya gak paham materinya, tapi bodo amat deh...yang
penting dapat A. Secara, gue gitu lho...” menjadi tidak asing lagi terdengar di
telinga para mahasiswa. Ini artinya apapun dan bagaimanapun jeleknya sistem
perkuliahan yang disampaikan dosen tidak menjadi persoalan asalkan dosen
memberikan nilai baik (minimal B).
Konsekuensi negatif dari
model perkuliahan sebagaimana gambaran di atas, menurut penulis, memberikan
dampak yang buruk terhadap budaya membaca mahasiswa. Mahasiswa tidak memiliki
tantangan untuk menelaah, menelusuri, dan membaca berbagai referensi yang
berkaitan dengan materi yang disampaikan dosen. Lebih ironis lagi, jika
perkuliahan pun berjalan secara asal-asalan; asal datang, asal mengabsen, dan
asal menilai tanpa memperhatikan ketercapaian kompetensi dan model alat ukur
yang dapat mengukur kemampuan mahasiswa secara valid. Siapa yang bersalah dalam
hal ini? Dalam tulisan ini sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkan dan
dipersalahkan. Tulisan ini hanyalah mengungkapkan sebuah renungan yang belum
tentu merupakan sebuah fenomena. Beberapa ilustrasi yang dikemukakan boeh jadi
hanya mengada-ada. Namun demikian, apapun bentuk dan gaya bahasa yang
diungkapkan, tulisan ini diharapakan dapat memberikan inspirasi positif untuk
menumbuhkan semangat membaca, membaca, dan membaca.
0 comments:
Post a Comment