TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
oleh
Samsul Ma'arif, S.Th.I
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia
tertentu, dari suatu
tempat ke tempat lain, pada
tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk menggantikan organ tubuh yang
tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik.[1]
Kemudian menurut Prof. Masjfu’ Zuhdi pengertian Transplantasi
adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat, untuk menggantikan organ tubuh
yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik.[2]
Transplantasi ditinjau
dari prakteknya, dapat dibedakan menjadi:[3]
1. Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri.
1. Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri.
2. Homotransplantasi, yaitu pemindahan
suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain.[4]
3. Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu
jaringan atau organ dari satu spesies ke tubuh spesies lainnya.[5]
Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor),
sedang yang menerima disebut Resipien. Cara ini merupakan
solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena penyembuhan/pengobatan
dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya.
Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transpalntasi tidak dapat
dihindari dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik
transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya
keterampilan dokter – dokter dalam melakukan transplantasi, upaya transplantasi
mulai diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan yang cepat dan
tuntas.
Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu cara penyembuhan suatu penyakit tidak dapat
bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan etik, moral, agama, hokum,
atau social budaya ikut mempengaruhinya.
Apa yang bisa di capai dengan teknologi belum tentu bisa di terima oleh
agama dan hukum yang hidup di masyarakat. Dari itu mengingat transplantasi
adalah masalah yang ijtihadi karena
tidak ada hukumnya secara eksplisit di dalam al-Qur’an dan Hadits dan juga
merupakan masalah yang cukup kompleks
menyangkut berbagai bidang studi maka seharusnya masalah ini di analisis
dengan menggunakan metode pendekatan multidisplainer, misalnya kedokteran
biologi, hukum, etika, dan agama agar dapat di peroleh kesimpulan hukum
ijtihadi yang proporsional dan mendasar.[6]
. Pandangan Hukum Islam Terhadap
Transplantasi Organ Tubuh
Kebanyakan dari para pemerhati masalah transpalnasi
ini ketika membahas hukum mereka akan mengklasifikasikan kapan
transplantasi itu dilakukan,
menurut Prof. Masyfuk Zuhdi, Apabila pencangkokan tersebut
dilakukan pada saat pendonor
dalam keadaan hidup sehat wal
afiat, begitu juga sakit (koma)
atau hampir meninggal, maka hukumnya adalah dilarang (haram), sedangkan apabila di lakukan ketika pendonor sudah
meninggal maka hukumnya ada yang mengharamkan,[7]
juga ada yang memperbolehkannya dengan syarat- syarat tertentu.[8] Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil.
2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil.
2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
Menurut Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi Ada beberapa
dalil yang di nilai sebagai dasar pengharaman transplantasi organ tubuh ketika
pendonor dalam keadaan hidup, antara lain: [9]
1. Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195
1. Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا
بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
Artinya:”Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan”
2. Hadits Rasulullah:
2. Hadits Rasulullah:
لا ضرر ولا ضرار
Artinya:
”Tidak di perbolehkan adanya bahaya pada diri sendiri dan tidak boleh
membayakan diri orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam
kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang
lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal… ia (mungkin) akan menghadapi
resiko sewaktu-waktu mengalami tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang
tinggal sebuah itu, dari itu dapat
di pahami adanya unsur yang di nilai mendatangkan bahaya dan menjatuhkan diri
pada kebinasaan.
3. Kaidah hukum Islam:
3. Kaidah hukum Islam:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya:”Menolak
kerusakan lebih didahulukan dari pada
meraih kemaslahatan”
Pendonor yang masih hidup berarti mengorbankan atau merusak dirinya dengan cara
melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain dan demi kemaslahatan orang lain, yakni Resipien. Dan itu tidaklah sesuai dengan kaidah hukum tersebut.
4. Kaidah Hukum Islam:
4. Kaidah Hukum Islam:
الضرر لا يزال بالضرر
Artinya”
Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.”
Kaidah ini menegaskan bahwa dalam Islam
tidak di benarkan penanggulangan suatu bahaya dengan menimbulkan bahaya yang
lain. Sedangkan orang yang mendonorkan organ tubuhnya dalam keadaan hidup sehat
dalam rangka membantu dan menyelamatkan orang lain adalah di nilai upaya
menghilangkan bahaya dengan konsekwensi timbulnya bahaya yang lain.
Penjelasan yang berbeda akan kita temukan mengenai
transplantasi organ tubuh ini ketika kita membaca buku Fatwa- Fatwa
Kontemporer yang di tulis oleh syiekh Yusuf Qardawi yang memberikan
penjelasan di mana kita akan sampai pada kesimpulan bahwa menurut Beliau transplantasi
adalah suatu hal yang di perbolehkan baik itu di lakukan di masa pendonor masih
hidup ataupun sudah meninggal, akan tetapi kebolehan tersebut bukanlah suatu
kebolehan yang bersifat mutlak tanpa syarat melainkan ada ketentuan –ketentuan
yang harus di perhatikan.[10]
Beliau mengawali pembahasan seputar
transplantasi dengan mengajak kita untuk memahami apakah
seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri
sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak
hati, misalnya dengan mendonorkan atau lainnya, Atau apakah tubuh itu merupakan titipan
dari Allah yang tidak boleh di pergunakan
kecuali dengan izin-Nya.
Didalam
kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat (bahaya) itu harus dihilangkan
sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong
orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, terluka, kelaparan, mengobati
orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang
menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun
lainnya.
Maka
tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang
menimpa seseorang, tetapi dia tidak berusaha
menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya,
atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Apabila
seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk
menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah
jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka diperbolehkan pula seorang
muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya
(organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang
membutuhkannya.[11]
Maka dari itu
dengan jelas Syaekh Yusuf Qardawi mengatakan bahwa upaya menghilangkan
penderitaan seorang Muslim dengan cara memberikan donor organ tubuh yang
sehat kepadanya adalah merupakan
tindakan yang di perkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi orang
yang melakukannya. Akan tetapi yang harus di perhatikan, masih menurut Beliau kebolehan ini bukanlah
bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan ini bisa di benarkan
jika memang tidak menimbulkan mudarat (bahaya)
bagi si pendonor. [12]
Dalam kata lain jika seseorang melakukan donor dan ternyata itu mengakibatkan
bahaya, kesengsaraan pada dirinya maka tindakan itu tidak bisa di benarkan
syara’. [13]
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan
seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam
tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak
mungkin dapat hidup tanpa adanya organ
tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar
dari orang lain dengan menimbulkan dharar
pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
"Dharar
(bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus
dihilangkan," dibatasi
oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar itu tidak
boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."[14]
Para Ulama
Ushul Fiqh menafsirkan
kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan
dharar dengan menimbulkan dharar
yang sama atau yang lebih besar daripadanya. Karena
itu tidak di perbolehkan mendermakan organ tubuh
bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki.
Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain
dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang
lebih besar.
Kemudian mengenai wasiat
pendonoran organ tubuh ketika seseorang sudah meninggal Syekh Yusuf Qardawi
memberikan pengertian dengan mengajak kita untuk memahami lagi tentang
pendonoran yang di lakukan oleh pendonor yang masih hidup di mana ada
kemungkinan kemudaratan yang menimpa si pendonor dan itu hukumnya tetap di
perbolehkan. Maka dengan itu, pendonoran yang di lakukan dalam keadaan tanpa
resiko mudarat /bahaya yang menimpa pendonor yang sudah meninggal adalah upaya
yang lebih berhak untuk di perkenankan.
Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh
kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/
kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya (si mayit),
karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas
berantakan dan dimakan tanah beberapa
hari setelah dikubur. Dan menurutnya Dalam hal ini tidak ada satu
pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala
sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang
sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dan dalam kasus ini dalil tersebut (dalil
yang mengharamkan) tidak
dijumpai.[15]
Kemudian ketika menyinggung
permasalahan kehormatan mayit di mana dalam konteks ini Rasulullah SAW pernah
bersabda yang kurang lebih artinya : "Mematahkan
tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup." [16] dalam artian apakah mendonorkan organ tubuh si mayit itu tidak termasuk
mengabaikan kehormatan mayit?, Beliau Yusuf Qardawi menekankan bahwa mengambil
sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah
bertentangan dengan ketetapan syara'. Sebab yang
dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak
merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil
organ yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti
mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan
penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.[17]
Lebih dari itu Beliau
menjelaskan kebolehan praktek transplantasi dari organ si mayit tidaklah hanya terbatas pada kasus adanya
wasiat dari si mayit, dalam arti pendonoran organ tubuh dari seorang yang sudah
meninggal itu di perbolehkan sekalipun si mayit tidak pernah berwasiat
sebelumnya.[18]
Akan tetapi transplantasi berkaitan organ tubuh orang yang meninggal ini bisa
berubah hukum menjadi haram atau tidak di perbolehkan jika memang si mayit
pernah berwasiat supaya organ tubuhnya tidak boleh ada yang di donorkan ketika
meninggal.[19] Karena itu merupakan haknya dan wasiat itu
wajib di laksanakan selama tidak merupakan kemaksiatan.
Demikianlah pembahasan terkait
hukum transplantasi organ tubuh dengan berbagai kemungkinannya di mana
perbedaan pendapat pun masih kita temukan dalam bahasan-bahasannya, meski
demikian ketika kita berusaha memahami kajian-kajian tersebut lebih –lebih apa
yang telah di uraikan oleh Syekh Yusuf Qardawi kita akan menemukan alur
pemikiran yang tidak terlalu rumit untuk di mengerti dan pantas untuk di
jadikan acuan menyoal Transplantasi organ tubuh ini, di mana pada intinya
menurut beliau transpalntasi dengan berbagai kemungkinan prakteknya adalah
suatu hal yang di perkenankan syara’ selama tidak ada kemaslahatan besar yang
terabaikan, atau selama tidak mendatangkan bahaya atau kemudaratan.
Simpulan
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia
tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada
tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk menggantikan organ tubuh yang
tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik.
Hukum transplantasi organ
tubuh dalam beberapa
kemungkinan prakteknya masih
di warnai perbedaan pendapat,
Mengenai praktek transplantasi dari seorang yang meninggal ada yang berpendapat
hal itu di bolehkan tapi ada juga yang berpendapat tidak di perbolehkan karena
hal itu di nilai dapat mengabaikan kehormatan si mayit, lebih dari itu orang
yang sudah meninggal tidak bisa di katakan memiliki tubuhnya, maka sekalipun ketika si mayit pernah berwasiat untuk
mendonorkan organ tubuhnya maka wasiat tersebut tidaklah sah. Akan
tetapi menurut Yusuf Qardawi transplantasi
dengan berbagai kemungkinan prakteknya adalah suatu hal yang di perkenankan
syara’ selama tidak ada kemaslahatan besar yang terabaikan, atau selama tidak
mendatangkan bahaya atau kemudaratan, terkecuali praktek pendonoran kepada
orang kafir yang memusuhi islam, atau pendonoran dari organ tubuh si mayit yang
pernah berwasiat melarang pendonoran organ tubuhnya ketika meninggal, maka
transplantasi tersebut tidaklah boleh di lakukan.
Sarimin, M.H, pandangan
hukum islam terhadap transplantasi organ tubuh dan tranfusi darah. http://pabondowoso.com
Qardawi, Yusuf, Fatwa fatwa Kontemporer,
Jakarta: Gema Insani Press, jilid 2, 1995 ,
Zallum , Abdul
Qadim, Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, ......, Beirut,
Libanon: Daar Al- Ummah, Cet 1, 1997
Zuhdi, Masjfuk, Pencangkoan
Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah, Jakarta
: CV Haji Mas Agung, Cet IV, 1993
Zuhdi, Masjfuk , Inseminasi Buatan pada Hewan dan Manusia di tinjau dari Hukum Islam,
makalah seminar Universitas Malang, 2 april 1987.
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/transplantasi-organ/
http://nursing-transplan.blogspot.com/
http://osolihin.wordpress.com/2008/05/10/nasyrah-hukum-syara-transplantasi-organ-tubuh/
[1] . Drs. H. Sarimin, M.H, pandangan hukum islam terhadap transplantasi organ tubuh dan tranfusi darah. http://pabondowoso.com
[2] .Prof. Masjfu’ Zuhdi, Pencangkoan
Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah, Jakarta , CV Haji Mas Agung, Cet IV,
1993, hlm 84
[3] . Etika Kedokteran dan Hukum kesehatan. http://nursing-transplan.blogspot.com
[4] .Dalam masalah ini ada beberapa
kemungkinan yang bisa terjadi terkait pendonor dan Resipien, dalam artian bisa
jadi pendonor itu muslim dengan resipien non muslim atau sebaliknya, Syekh
Qardawi menjelaskan bahwa pendonoran itu termasuk sedekah, dan sedekah menurut
Beliau boleh di berikan kepada seorang muslim atau non muslim tapi tidak boleh di berikan kepada
si Kafir yang memusuhi Islam, seperti halnya tidak boleh di berikan kepada
orang Murtad, maka menurut beliau pendonoran kepada non muslim itu di
perbolehkan dengan ketentuan tersebut, tetapi
jika terjadi dua orang yang sama-sama membutuhkan pendonoran yang satu muslim
dan yang lain non muslim, maka orang muslim haruslah yang di utamakan. Kemudian
mengenai bagaimana jika Resipien adalah orang muslim apakah boleh menerima
transplantasi organ tubuh dari non muslim, maka masih menurut Beliau hal itu
tetap di perbolehkan karena organ tubuh tidaklah bisa di kategorikan muslim
atau non muslim, bahkan menurutnya semua organ tubuh manusia dan mahluk hidup
seluruhnya itu bertasbih dan tunduk kepada Allah SWT tanpa terkecuali organ
–organ tubuh orang kafir. Lihat Fatwa fatwa Kontemporer,.. hlm 760 dan
766.
[5] . Dalam poin ini juga ada permasalahan
yang patut di perhatiakan mengingat Spisies- Spisies lain adalah tidak semuanya
di hukumi suci. Masalah mungkin muncul jika ternyata yang bertindak sebagai
pendonor adalah spisies yang najis, bolehkah?..
mengenai ini dalam Buku Fatwa- fatwa kontemporer kita diberi wacana
bahwasanya hal itu mestinya tidak perlu di lakukan kecuali dalam keadaan
darurat, dan ketika berbicara darurat maka kebolehan sesuatu karena darurat itu
haruslah di ukur dengan kadar daruratnya. Bisa jadi ada yang mengatakan bahwa
yang di haramkan dari hewan yang najis adalah memakannya, sedangkan
mencangkokkan sebagian organ nya itu tidak terbilang sebagai memakan melainkan
hanya memanfaatkannya. Apabila syara’ memperbolehkan pemanfatan kulit bangkai
asalkan tidak di makan, maka arah pembicaraannya adalah memanfaatkan hewan
najis tanpa memakannya. Tapi sampai sini permasalahan belum selesai menyoal
ketika hewan itu najis bagaimana mungkin patut di masukkan ke dalam tubuh orang
islam yang suci, .. Syekh Yusuf Qardawi memberikan jawaban bahwasanya sesuatu yang najis itu tidak boleh di gunakan
hanyalah ketika berkaitan dengan anggota
tubuh bagian luar, adapun di dalam maka tidak ada dalil yang melarangnya, sebab
justru anggota tubuh bagian dalam merupakan
tempat berbagai macam hal yang najis, dan manusia tetap melakukan sholat,
thowaf, membaca al-Qur’an dan lain-lainnya.
Lihat Fatwa fatwa Kontemporer,........... hlm 760 dan 769.
[6] .Prof. Masjfuk Zuhdi , Inseminasi
Buatan pada Hewan dan Manusia di tinjau dari Hukum Islam, makalah seminar
Universitas Malang, 2 april 1987, hlm 1, Dalam Pencangkoan organ tubuh, Masail
Fiqhiyah .. Op-cit hlm 84.
[7]. Keharaman tersebut di
dasarkan pada adanya larangan untuk menyakiti si mayit sebagaimana menyakiti orang
yang hidup. Rasulullah saw bersabda:“Mematahkan tulang orang yang telah
mati sama hukumnya dengan memotong tulangnya ketika ia masih hidup”. Dan Merupakan suatu hal
yang tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari
kepemilikan serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun
istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi
memiliki hak terhadap tubuhnya. Maka ketika dia memberikan wasiat untuk
mendonorkan sebagian anggota tubuhnya, berarti dia telah mengatur sesuatu yang
bukan haknya. Jadi dia tidak lagi diperbolehkan untuk mendonorkan tubuhnya.
Dengan sendirinya wasiatnya dalam hal itu juga tidak sah. Memang dibolehkan
untuk memberikan sebagian hartanya, walaupun harta tersebut akan keluar dari
kepemilikannya ketika hidupnya berakhir, tetapi kebolehan itu disebabkan karena syara’ memang memberikan izin tentang hal itu. Dan itu merupakan izin khusus pada harta, dari itu tidak dapat diberlakukan terhadap yang lain. Dengan
demikian manusia tidak diperbolehkan memberikan wasiat untuk mendonorkan sebagian anggota tubuhnya setelah dia
mati. Adapun ahli
waris; sesungguhnya syara’ mewariskan pada mereka harta yang diwariskan (oleh
si mati). Namun syara’ tidak mewariskan jasadnya kepada mereka, sehingga mereka tidak berhak
untuk mendonorkan apapun dari si mati. Lihat http://osolihin. wordpress.com/ /nasyrah-hukum-syara-transplantasi-organ-tubuh/
[8]. Lihat Prof. Masjfuk Zuhdi, Pencangkoan
Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah, Jakarta, CV Haji Mas Agung, Cet IV,
1993, hlm 88.
[9] . Prof. Masjfuk Zuhdi, Pencangkoan
Organ Tubuh.. Op-cit , .... hlm 86.
[10] .Lihat
Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa
Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ
Tubuh. Jakarta, Gema Insani Press, 1995, jilid 2. Hlm 759
[11] . Ibid, hlm 758
[12] . Ibid,
hlm 759
[13]. Abdul Qadim Zallum,dalam
kitabnya Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, Al Ijhadl,
Athfaalul Anabib, Ajhizatul In’asy Ath Thibbiyah, Al Hayah wal Maut,
menjelaskan bahwa: Syarat kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat
seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan
organ vital yang menentukan kelangsungan hidup pihak penyumbang, seperti
jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal
ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian
pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal
seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan
sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya.
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/transplantasi-organ
[14] . Lihat
Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa
Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ
Tubuh. Jakarta, Gema Insani Press, 1995, jilid 2. Hlm 759
[15] . Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar
pencangkoan Organ Tubuh.
Jakarta,
Gema Insani Press, 1995 hlm 763
[16] . HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dari
‘Aisyah sebagaimana di sebutkan dalam Al- Jami’ Shogir. Dan Ibnu Majah
meriwayatkan dari Ummu Salamah dengan lafaz : Seperti memecahkan tulang
orang yang hidup tentang dosanya.
[17] . Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar
pencangkoan Organ Tubuh. Jakarta, Gema Insani Press, 1995 hlm
763
[18] . Hal itu dapat di
fahami karena Syariat telah memberikan hak kepada wali untuk
menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika terjadi
pembunuhan dengan sengaja, sebagaimana
difirmankan oleh Allah:
"... Dan barangsiapa
dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)
Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak
melakukan hukum qishash jika mereka menghendaki, atau
melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau
banyak. Atau memaafkannya
secara mutlak karena Allah, pemaafan yang
bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti yang disinyalir oleh
Allah dalam firmanNya:
"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang memben maaf
dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)
Dari itu maka tidak menutup
kemungkinan bahwa mereka wali atau Ahli waris mempunyai hak mempergunakan
sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain
dan tidak memberi mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat
pahala darinya, sesuai kadar manfaat yang
diperoleh orang sakit yang membutuhkannya
meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat
pahala karena tanamannya dimakan oleh orang lain,
burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan,
atau terkena gangguan, hingga terkena duri
sekalipun ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat
--setelah meninggal dunia-- dari doa anaknya
khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka
untuknya. Lihat Yusuf Qardawi,
Fatwa fatwa Kontemporer,seputar masalah pencangkoan
Organ Tubuh, Jakarta, Gema Insani Press, 1995 , hlm 765.
[19] .Lihat Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer,seputar masalah pencangkoan Organ Tubuh, Jakarta, Gema Insani Press, 1995
, hlm 766
sangat menarik untuk disimak. sebuah hukum kontemporer yang telah ditetapkan sejak masa salaf
ReplyDeletejangan lupa kunjung baliknya shob.di http://satriabajahikam.blogspot.com
ReplyDeleteYupz Thanks Brother.. ^_^
ReplyDelete