Cerpen
BUKAN ALAM MIMPI
Fera
Andriani Djakfar*
Cerpen - "Semalam ada lagi...!" Keluh Yasmin dengan suara serak
seperti orang kurang tidur. Wajahnya pias. Di ruang tamu itu dia menggigil.
Entah karena ketakutan atau kedinginan. Suhu udara pagi itu memang turun hingga
enam derajat celcius saja.
"Kamu yakin itu bukan mimpi?" Tanya Sharihan memastikan.
Sementara Lamya sudah ikut merinding ketakutan.
"Bentuknya seperti apa? Masih seperti kemarin dengan rambut
panjang, kuku...."
"Stop! Sharihan, tolonglah! Aku tahu kamu pemberani. Tapi kalau
sampai mengalami sendiri, pasti keadaanmu tidak jauh beda dengan Yasmin,"
protes Lamya.
Sementara yang diprotes hanya tertawa ringan. Dia masih melontarkan
kalimat-kalimat menyeramkan yang membuat dua kawannya semakin kesal. Namun dia
menghentikan aksinya saat melihat wajah Yasmin yang benar-benar memucat.
"Barangkali aku harus pindah dari sini," gumam Yasmin lirih.
Dua kawannya serentak memandangnya heran.
"Kamu kan baru tiga bulan tinggal di sini? Masa dengan peristiwa
yang tidak masuk akal seperti ini saja kamu akan pindah apartemen lagi?"
Sharihan memberi pertimbangan dalam rangkaian pertanyaannya. Lamya mengangguk
mengiyakan. Padahal dalam hatinya ada alasan lain. Yaitu apa jadinya apartemen
ini jika salah satu ruangannya tidak berpenghuni? Jangan-jangan nanti malah dia
yang didatangi oleh makhluk halus itu. Hiyy... batinnya merasa ngeri.
"Kesabaranku ada batasnya juga. Sudah dua minggu lebih aku
mengalami hal ini. Dua minggu yang menyeramkan... bahkan yang terburuk dalam
hidupku. Didatangi jin... brrhh!!" Yasmin bergidik lagi, lalu berpindah
tempat duduk.
Sekarang di sofa ruang tamu itu ia berada di tengah-tengah, antara
Sharihan dan Lamya. Tapi Lamya yang juga penakut ingin berpindah duduk di
tengah pula. Jadilah mereka berdua berebut posisi di tengah. Sharihan yang
jengkel dengan tingkah kawannya memilih untuk beranjak ke kamar.
"Jangan pergiii...!!" Protes dua kawannya. "Duduk sini
saja...,"Pinta Lamya sambil menarik tangan Sharihan lalu memaksanya duduk
bersama di sofa itu. Meski bersungut-sungut dia tidak tega beranjak dari ruang
tamu, menemani dua kawannya yang penakut.
"Bukannya kami merasa kehilangan, sih. Tapi kalau hanya ada dua
orang duduk di sofa, mana bisa kita berebut tempat di tengah?" Yasmin
sudah mulai bercanda.
"Lho... kan ada si ehemmm...!" Goda Sharihan dengan gerakan
menyeramkan. Dua kawannya berteriak histeris. Kemudian mereka tertawa bersama
dalam canda. Kehangatan persahabatan yang mereka bina, menaklukkan dinginnya
udara pagi di pertengahan Oktober itu. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah
terlelap di ruang tamu itu. Kebiasaan tidur pagi selepas salat Shubuh dan baru
bangun untuk bersiap-siap berangkat kuliah tidak bisa mereka tinggalkan. Namun
sejak beberapa hari yang lalu, 'hobi' ini terpaksa harus dipindah ke ruang
tamu. Yaitu sejak Yasmin mengatakan bahwa dia didatangi makhluk halus ketika
tidur, sehingga dia minta ditemani oleh dua kawannya.
Mereka bertiga tinggal di sebuah apartemen sederhana di kawasan Jalan
Tayran, Rab'ah el Adaweyah. Dekat dengan kampus putri Universitas Al Azhar
Kairo. Sehingga mereka cukup dengan berjalan kaki saja jika pulang dan pergi
kuliah. Apartemen yang terletak di lantai satu gedung nomor tiga puluh enam itu
memang sangat tepat dihuni mahasiswi. Sebelumnya, Yasmin tidak tinggal di situ.
Mereka berdua mengenalnya di ruang kuliah saja. Namun kemudian dia menggantikan
Laila, kakak Lamya yang telah lulus dan kini sudah kembali ke kampung
halamannya di Propinsi Zagazig, puluhan kilometer dari Kairo.
Tiba-tiba mereka bertiga dikejutkan oleh dering ponsel Yasmin. Berarti
waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Yasmin selalu menerima telpon pada
jam-jam yang sama. Sepertinya dari orang yang sama pula. "Ada apa, Tamir?
Sudah, aku sudah bangun. Ya... belum. Apa? Oh, itu," potongan-potongan
pembicaraan Yasmin tidak pernah bisa dimengerti oleh kedua kawannya. Apalagi
setelah menanyakan kabar, dia menuju balkon lalu berbicara lama sekali di sana.
Minimal lima belas menit. Terkadang setelah menerima telpon Yasmin tampak
seperti orang bingung, dan bersikap aneh. Pada saat itu dua kawannya yang lain
bergantian masuk kamar mandi terlebih dahulu, lalu bersiap-siap berangkat
kuliah. Lebih baik dari pada menguping pembicaraan orang kasmaran, pikir
Sharihan dan Lamya.
*********
"Tolooooong...!!" Teriak Lamya histeris, sambil berlari
keluar dari kamarnya. Dia tampak bingung mau lari kemana, lalu diputuskannya
untuk menerobos kamar Sharihan.
"Ada apa??" Sharihan terbangun karena kaget, apalagi melihat
ekspresi wajah Lamya yang pucat pasi. Ditenangkannya sahabat yang sedang panik
dan ketakutan itu. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Shubuh masih sekitar
tiga jam lagi.
"Sharihan... di kamarku, ada... ada... kertas
bertuliskan...hiyy...," Lamya menangis ketakutan. Yasmin ikut nimbrung ke
kamar Sharihan juga. Dia juga tampak gemetar ketakutan.
"Baik, sekarang lebih baik kita bertiga mengambil air wudlu lalu
salat malam. Setelah itu kita mengaji bersama sampai Shubuh. Bagaimana?"
Usul Sharihan. Dua kawannya tidak memberi reaksi.
"Ya sudah, aku antarkan kalian ke kamar mandi. Ayo...!"
Sambungnya lagi. Dia tetap tidak panik. Dua kawannya menurut. Mereka melakukan
salat malam bersama, lalu membaca Al Quran. Setelah agak tenang barulah Lamya
bisa bercerita.
"Tadi, di sebelahku, ada kertas bertuliskan PERGI DARI SINI...
dengan tinta merah seperti..."
"Darah?" Tanya Sharihan hati-hati. Lamya mengangguk pelan.
Yasmin seperti mau menangis. "Tuh, apa kubilang? Sepertinya
sekarang giliran Lamya yang didatanginya. Makanya, ayo pindah dari sini... aku
tidak tahan lagi..!!"
"Ayo kita lihat ke kamar Lamya!" Ajak Sharihan tegas. Spontan
dua kawannya menolak. Akhirnya dia nekat pergi sendiri. “Mana? Tidak ada
apa-apa di sini...!!” teriaknya. Dua kawannya memberanikan diri masuk kesana.
Dan memang benar, tidak ada hal yang aneh. Semua barang di kamar itu masih pada
tempatnya, rapi. Tidak ada robekan kertas bertuliskan kata-kata dengan tinta
darah seperti yang diceritakan Lamya. Sharihan berusaha menenangkan kawannya,
namun Lamya tetap bersikeras kalau tadi yang dia lihat bukan mimpi.
Kali ini mereka bertiga benar-benar tidak dapat tidur lagi. Bahkan
setelah salat Shubuh pun, hawa dingin tidak mampu merayu mereka untuk tidur
pagi seperti biasanya.
*********
Seminggu kemudian kejadian yang dialami Yasmin masih terus saja
berlangsung. Demikian juga yang dialami Lamya. Bahkan kata-kata yang tertulis
di robekan kertas itu semakin sadis saja. Sharihan heran, mengapa dia tidak
mengalami apapun? Pasti ada penjelasan yang logis untuk rentetan kejadian ini.
Harus ada.
Sementara itu dua orang kawannya selalu mendesak untuk segera pindah
apartemen. Padahal itu bukan hal yang mudah. Mereka harus menemui pemilik
apartemen, dan menjelaskan alasan mereka mengapa harus pindah. Setelah itu,
bisa jadi sang pemilik apartemen akan mengontrol keutuhan perabotannya. Lalu
mereka masih harus mencari pengganti untuk tinggal di apartemen tersebut. Jika
tidak, uang jaminan tidak akan kembali. Padahal jumlahnya lumayan besar. Lagi
pula dia merasa enggan meninggalkan apartemen yang penuh kenangan itu. Ditambah
lagi dengan sikap Tuan Abbas, pemilik apartemen yang meskipun tampak keras
namun sebenarnya baik hati dan selalu menghormati janji. Tidak pernah beliau
menaikkan harga sembarangan, kecuali setelah kompromi dan persetujuan kedua
belah pihak.
“Sudah kalian pikirkan?” Tanya Sharihan setelah menjelaskan pada dua
kawannya tentang susahnya pindah tempat tinggal. Lamya dan Yasmin mengangguk
mantap. Rasa takut telah mendorong mereka untuk memilih keputusan itu.
“Lagi pula Yasmin sudah dapat info tentang apartemen lain,” kata Lamya.
“Oh, ya? Dimana?” Tanya Sharihan.
“El Hay Tsamin,” jawab Yasmin.
“Berarti agak jauh dari kuliah?” Tanya Sharihan seolah pada diri
sendiri. Dia dan Lamya terbiasa tinggal di tempat yang dekat sekali dengan
kuliah. Sehingga jarak antara El Hay Tsamin dan kampus putri yang sebenarnya
bisa ditempuh hanya dengan dua puluh menit dengan trem listrik masih terasa
jauh saja. Berbeda dengan Yasmin yang memang sering berpindah tempat tinggal.
“Hm... nanti dulu. Sepertinya aku punya kenalan yang akan pindah
apartemen. Lokasinya di Abd el Rasul. Lumayan dekat, kan?” Sharihan ada ide
cemerlang.
“Kemana sajalah. Asalkan jangan di rumah ini. Titik!” Lamya sudah tidak
sabar. Sementara Yasmin masih bersikeras agar mereka pindah ke El Hay Tsamin.
Dengan alasan uang sewa yang lebih murah serta dekat dengan tempat
perbelanjaan. Alasan uang sewa lebih murah? Untuk ukuran seorang Yasmin itu
alasan yang kurang masuk akal, pikir Sharihan.
Ponsel Yasmin dengan melodi khasnya mengagetkan mereka. Pembicaraan
seputar makhluk halus, teror, dan perpindahan rumah telah menggantikan program
tidur selepas Shubuh. Waktu menunjukkan pukul delapan.
“Selamat pagi juga, Tamir! Hm... iya. Tunggu saja! Apa? Sekarang? Tapi
aku ada kuliah penting, Tamir. Tolonglah mengerti...,” potongan pembicaraan
Yasmin yang masih bisa ditangkap oleh Sharihan. Selanjutnya Yasmin telah menuju
balkon di sebelah ruang tamu, seperti biasanya. Sementara Lamya telah pergi ke
kamar mandi, bersiap-siap untuk pergi kuliah. Ujian termin pertama sudah
semakin dekat.
Sharihan masih berada di ruang tamu ketika Yasmin tiba-tiba masuk
dengan mata sembab.
“Ada apa, Yasmin? Kamu sakit?” Yang ditanya hanya menggeleng. Sharihan
menepuk pundaknya dengan lembut, ditatapnya mata sahabatnya itu dengan tajam. Yasmin
menghindari tatapan itu. Sharihan yakin sahabatnya ini sedang menghadapi
masalah.
“Tunggu sebentar, ya. Aku buatkan segelas teh dulu.” Sambil berkata
demikian Sharihan berlalu ke dapur. Tak lama kemudian dia datang dengan membawa
dua gelas teh panas. “Minumlah agar badanmu terasa hangat,” ujarnya. Yasmin
terharu sekali dengan perhatian Sharihan. Dan ini bukan yang pertama kalinya.
Lamya pun selalu bersikap baik padanya. Bersama mereka di apartemen itu
hidupnya banyak mengalami perubahan, yang mendekati hal-hal positif tentunya.
“Tamir mengajak bertemu di taman sekarang juga.” Yasmin membuka suara
setelah meminum seteguk teh di gelas yang dipegangnya. Sharihan menarik napas
panjang. Dia tidak habis pikir mengapa Yasmin terlalu mengorbankan segala-galanya
buat Tamir. Termasuk kuliahnya. Padahal sekarang ujian sudah semakin dekat.
Tentunya banyak materi yang harus lebih banyak dipelajari secara serius. Apakah
ini karena cinta? Barangkali saja demikian. Apalagi yang bisa membuat manusia
menjadi buta?
“Yasmin, sekali-sekali kamu harus tegas. Kamu harus punya prinsip agar
tidak terombang-ambing dan mudah diperintah oleh Tamir. Maaf kalau aku terlalu
kasar,” pesan Sharihan sebelum bersiap-siap pergi ke kampus setelah melihat
Lamya yang sudah rapi dengan jilbab Turki hijaunya.
Tegas? Sebenarnya Yasmin juga ingin. Toh dia dulu gadis yang tegas dan
tegar hingga orang tuanya memberi izin untuk melanjutkan kuliah di ibu kota.
Tapi sekarang aku menjadi sangat rapuh, pikirnya. Ah, mahalnya hutang budi.
*********
Dan memang benar. Sementara Sharihan dan Lamya pergi kuliah, Yasmin
menuruti keinginan Tamir untuk bertemu di Taman Internasional. Terletak di
kawasan Hay Zohour, tidak terlalu jauh dari apartemennya. Dia rupanya
terlambat, karena Tamir telah barada di gerbang taman itu. Muka masamnya
menunjukkan bahwa dia telah terlalu lama menunggu.
“Terlambat lagi!” Tegur Tamir dengan kasar. Yasmin hanya menggumamkan
kata maaf. Dia tidak peduli Tamir mendengarnya atau tidak. “Bagaimana usahamu
kali ini? Membuahkan hasil?” Tanya Tamir. Yasmin menggeleng.
“Kamu punya mulut untuk bicara, Nona!!” Panggilan seperti itu tidak
pernah terlontar dari mulut Tamir sebelumnya. Barangkali Tamir sedang marah
besar. Dua tahun bersama-sama telah membuat Yasmin memahami segala arti ucapan
dan tabiat Tamir dengan baik. Namun akhir-akhir ini dia semakin susah ditebak.
“Lihat aku! Kenapa kamu diam saja?” Sambil bertanya begitu dia mencengkeram
lengan Yasmin. Diperlakukan begitu, sekuat tenaga Yasmin berontak. Dia meringis
kesakitan.
“Oh, hahaha... sudah berani rupanya,” Tamir tertawa mengejek. Yasmin
terngiang ucapan Sharihan tadi pagi bahwa dia harus tegas. Dia harus punya
prinsip. Sekarangkah saatnya?
“Rencanamu kali ini untuk mengeluarkan mereka dari apartemen itu tidak
berhasil. Mereka terlalu pandai untuk sekedar ditakut-takuti dengan cerita
hantu,” papar Yasmin. Tamir berteriak kesal. Tak ubahnya anak kecil yang tidak
dibelikan mainan. Yasmin semakin ngeri dengan sikap makhluk kasar di depannya.
Dia tidak habis pikir mengapa dulu ia sempat menaruh hati padanya. Ah, pahlawan
itu kini telah berubah menjadi monster yang menyeramkan!
“Alaaah... kamu saja yang bodoh. Pasti caramu salah dan kurang
hati-hati sehingga mereka tahu bahwa ini semua hanya rekaan.” Rupanya Tamir
benar-benar kesal karena apartemen tempat tinggal Sharihan dan Lamya sudah lama
diincar bosnya. Lokasi yang dekat dengan kampus sangat strategis untuk membuka
cabang kios foto kopi maupun warung internet. Bibit-bibit ketamakan telah
bersemi dalam otak bisnisnya.
“Oh, ya? Aku bodoh? Bukankah selama ini aku selalu berhasil
mengeluarkan orang-orang dari apartemennya? Maaf, si bodoh ini punya batas
kesabaran juga... Tuan Tamir!” Tandas Yasmin dengan panggilan “Tuan” untuk
menyindir laki-laki itu. Satu langkah mulai dia ambil untuk memperoleh
ketegasannya kembali.
Dikeluarkannya ponsel dari dalam tas. Disodorkannya benda mungil itu ke
tangan si pemberi. Selama ini dia sangka lelaki di hadapannya tulus. Ternyata
dia salah besar, dan merasa telah dimanfaatkan untuk memperlancar bisnisnya.
Tamir pun mengambil kembali ponsel itu dengan kesal.
“Terima kasih atas bantuan Anda selama ini, Tuan Tamir! Tapi aku tidak
bisa terus-terusan begini. Semakin hari Anda semakin kasar saja...” Yasmin
tidak menyangka bahwa kalimat-kalimat yang akhir-akhir ini hanya dia pendam
akhirnya keluar juga. Bisa jadi karena dia telah tersiksa, menangis setiap kali
dapat telpon dari laki-laki itu. Sahabat-sahabatnya menyangka ketika dia
berbicara di balkon, ada obrolan mesra yang tidak ingin diganggu orang lain.
Padahal Yasmin hanya butuh waktu untuk menghilangkan jejak yang ditinggalkan
air mata di pipinya.
Yasmin menatap mata Tamir dengan tajam. Untuk pertama kalinya dia
melakukan itu. “Aku sudah bosan berbohong dan bersandiwara. Apalagi sekarang
calon korbanmu adalah sahabat-sahabat sejati yang sangat baik padaku. Aku tidak
bisa...!”
“Inikah balasanmu padaku, Yasmin? Setelah dulu kau yang masih sangat
lugu kuselamatkan dari gangguan para pemuda liar yang ingin merenggut
kehormatanmu?” Seru Tamir. Selalu. Itulah yang tiap waktu dan tiap saat dia
ungkit-ungkit hingga membuat Yasmin terjebak dalam perangkap berlabel balas
budi.
Memang, Yasmin pernah diselamatkannya dua tahun yang lalu. Ketika itu
taksi yang ditumpanginya seorang diri membawa dia menyulusuri jalanan yang
sangat asing baginya. Sebagai orang baru di Kairo, Yasmin memang sangat lugu.
Di daerah asalnya, Wahhat yang permai, dia selalu percaya pada setiap orang.
Kesalahan besar jika hal itu dia terapkan di Kairo. Karena ternyata sopir taksi
itu bersekongkol dengan beberapa pemuda yang telah mencegat di lorong yang
sepi. Saat itu datanglah Tamir bak dewa penyelamat. Dia berhasil mengalahkan
gerombolan pemuda liar itu, membawanya lari jauh, lalu mengantarkannya pulang
dengan selamat. Sejak saat itu pula Tamir sering mengantar jemput Yasmin
kemanapun dia pergi. Dengan alasan keamanan, katanya.
“Aku tidak akan melupakan jasa Anda, Tuan Tamir. Selamanya tidak akan
kulupakan. Tapi jangan Anda gunakan itu untuk memaksaku agar menuruti semua
keinginan Anda!” Ujar Yasmin. Sebuah kekuatan telah menyusup di jiwanya.
Sejenak terlintas senyuman Sharihan dan Lamya. “Hitung saja seluruh uang dan
apa saja yang pernah Anda berikan padaku. Akan aku bayar. Meskipun sebenarnya
Anda telah mengambil lebih banyak lagi dariku. Kebebasan, impian,dan waktu
berhargaku yang seharusnya kuhabiskan bersama sahabat-sahabat sejatiku! Selamat
tinggal...!” Kemudian Yasmin segera berlalu dari hadapan Tamir. Sayup-sayup
terdengar teriakan kasarnya.
“Kamu tidak akan bisa lepas dariku, Yasmin. Tidak akan bisa...
hahaha...!!
Bisa! Aku harus bisa! Yasmin menjawab dalam hati. Ah, selama ini dia
terlalu naif. Disangkanya pertemuan antara dia dan Tamir yang mirip kisah-kisah
dalam film laga itu akan berakhir dengan kisah romantis seperti yang dia
saksikan dalam cerita-cerita epik picisan.
Sementara Tamir benar-benar menghitung segala biaya yang selama dua
tahun ini dia keluarkan. Dia akan meminta ganti rugi dari bosnya. Mulai dari
uang untuk pergi ke kampus putri mengamati dan mencari gadis lugu dari propinsi
luar Kairo, membayar si sopir taksi gadungan dan membungkamnya dengan puluhan
Pound Mesir, membayar gerombolan anak berandal dengan berkardus-kardus rokok,
biaya isi ulang pulsa setiap bulan selama dua tahun, dan uang transportasi
maupun konsumsi ketika mereka “berkencan”. Tapi dia berpikir lagi. Buat apa
susah-susah menghitung biaya terlalu teliti begitu? Toh dia sudah mendapat
bonus besar dari bosnya setiap kali berhasil memperalat Yasmin untuk mengusir
para penghuni apartemen tertentu yang terletak di tempat strategis. Sehingga
sang bos berhasil membuka warung internet, toko peralatan kantor, kios foto
kopi, studio foto, dan banyak lagi. Lagi pula, dua tahun bersama-sama gadis
secantik Yasmin tidak ada ruginya. Tamir tersenyum penuh kemenangan. Dia tidak
merasa kehilangan. Tinggal mencari gadis lain lagi. Urusan sepele. Toh Yasmin
bukan yang pertama dia perlakukan begitu.
*********
Dari taman tadi, Yasmin menyempatkan diri untuk mengikuti materi kedua
hari itu. Dan memang benar, banyak hal yang harus dia kejar di kuliah. Ah, baru
terasa rugi setelah dekat ujian. Penyesalan memang selalu di belakang. Tapi dia
merasa sangat lega. Ternyata beban yang selama ini menghimpitnya berasal dari
Tamir si pahlawan kesiangan itu. Kuliah tentang perbandingan agama yang
dibawakan oleh DR.Kautsar tidak sepenuhnya dia cerna. Yang ada dalam pikirannya
hari itu hanyalah segera pulang dan bertemu sahabat-sahabatnya. Akan dia
ceritakan semuanya, juga tentang asal mula jin pengganggu yang selama ini
menghantui apartemen mereka. Semoga tidak terlambat. Sebab dia tidak melihat
dua sahabatnya di ruang kuliah.
*********
Setibanya di apartemen, Yasmin sangat terkejut. Dua kawannya sedang
sibuk mengepak barang.
“Yasmin, kami sudah belikan kardus-kardus kosong buatmu. Ayo, lebih
baik kita segera berkemas!” Ajak Sharihan sambil menata buku-bukunya ke dalam
kardus. Lemari dan rak bukunya sudah kosong. Demikian juga Lamya.
“Maaf, kami mengepak duluan. Nanti kalau kami selesai agar bisa membantumu
juga,” ujar Lamya tulus. “Kami bela-belain cuma ikut kuliah jam pertama saja,
lho buat rencana perpindahan ini. Maklum, sudah akhir bulan. Mendingan kalau
memang niat pindah, sekarang saja agar mudah membuat akad baru di apartemen
baru kita nanti.
Rasa bersalah semakin memenuhi relung-relung hati Yasmin.
Sahabat-sahabatnya memang tidak pernah pamrih. Tapi dia... ah! Apa yang bisa
dia lakukan untuk menebus kesalahannya?
“Ehmm... kita serius mau pindah?” Tanyanya hati-hati. Dua sahabatnya
melotot.
“Yang tadi pagi merengek-rengek mau pindah siapa? Kamu harus tegas,
Yasmin. Jangan jadikan kami korban kerapuhanmu. Kamu plin-plan sekali!” Ucapan
Sharihan mengundang air matanya. Dia menangis sedih. Dia takut sikap
sahabat-sahabatnya berubah jika tahu kejadian sebenarnya.
Lamya yang lembut segera memeluknya dan meminta maaf atas ucapan
Sharihan. Diajaknya Yasmin ke balkon untuk berbicara dari hati ke hati. Cerita
pun mengalir. Tentang siksaan batin Yasmin selama ini, tentang asal mula segala
fasilitas yang dia pakai selama ini, tentang Tamir dan kekasarannya. Tak lupa
tentang kebiasaan uniknya selalu berpindah apartemen setiap dua bulan yang
hanya bertujuan mengusir para penghuninya dari sana. Cara yang dia gunakan
bermacam-macam. Mulai dari teror pencurian, adu domba, hingga cerita hantu.
Hanya bersama Sharihan dan Lamya saja dia masih mampu bertahan hingga tiga
bulan. Tentu saja karena ketulusan persahabatan dari mereka berdua, dan sifat
Sharihan yang susah dipengaruhi dengan aneka cerita takhayul.
Tiba-tiba Sharihan yang rupanya telah berdiri di belakang mereka
tertawa tergelak. Dia sudah menguping pembicaraan Yasmin dan Lamya.
“Oh, jadi si Tamir itulah hantu sebenarnya!” Ujar Sharihan terkikik.
Dua kawannya menoleh.
“Kamu tidak marah lagi?” Tanya Yasmin hati-hati.
“Yach, tadi aku memang kesal juga. Tapi sekarang justru berterima kasih
padamu.” Mendengar itu Yasmin mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Sementara
Lamya yang sudah paham maksud Sharihan jadi tersenyum.
“Kenapa begitu?” Tanya Yasmin semakin penasaran, karena Sharihan justru
masuk ke ruang tamu dan duduk santai di sofa sambil melemaskan otot-ototnya
yang sejak tadi lelah mengepak barang.
“Kita tidak jadi pindah. Dan berkat kamu, uang sewa apartemen turun
hingga tinggal setengahnya saja. Lamya, cepat hubungi Tuan Abbas pemilik
apartemen ini. Segera, ya!”
“Haadlir, ya Sayyidati)*!” Canda Lamya. Yasmin semakin tidak mengerti.
Sharihan lama-lama tidak tega juga melihat ekspresi sahabatnya.
“Yasmin sayang, tadi pemilik apartemen yang memang tinggal dekat dari
sini mengunjungi kita kemari, dan melihat kita telah mengemasi barang-barang.
Sewaktu beliau menanyakan penyebabnya, Lamya bercerita dengan lengkap tentang
peristiwa yang kita alami. Tapi Tuan Abbas tidak percaya dan memaksa kita untuk
tetap bertahan di sini, serta menurunkan harga agar kita tetap bertahan.”
“Kenapa sampai begitu?” tanya Yasmin.
“Sebab, peristiwa seperti jin dan semacamnya jika sampai tersebar akan
membuat orang-orang takut tinggal di sini. Beliau bisa rugi besar jika tidak
ada yang mau menyewa apartemennya. Terbukti, bukan? Bahwa orang-orang pemberani
sepertiku jarang terdapat. Hehehe...” Canda Sharihan. Yasmin sudah bisa
tersenyum.
“Ups, nyaris saja. Ternyata ada yang menelpon Tuan Abbas dan mau
menyewa apartemen ini. Untungnya kita diberi batas waktu untuk memberi
keputusan hingga pukul dua siang. Lima menit saja kita terlambat, apartemen ini
akan diambil orang.” Papar Lamya setelah menghubungi pemilik apartemen.
“Barangkali itu Tamir dan gengnya,” Yasmin menebak.
“Ala kulli hal, alhamdulillah...! Apartemen dipertahankan, dan harga
turun selama setahun ini....” Sharihan tampak gembira sekali. Meski terlanjur
berkemas, dia tidak merasa rugi. Sekarang tinggal menelpon calon pemilik
apartemen baru bahwa mereka membatalkan rencana pindah ke sana. Beliau tidak
akan marah, sebab banyak juga yang antri mau tinggal di apartemennya.
“Hm... berarti....” Ucapan Yasmin menggantung.
“Berarti apa?” tanya Lamya.
“Berarti... aku tidak perlu minta maaf, kan? Iya, kan? Hahaha...”
candanya. Dua sahabatnya segera melempari dia dengan bantal-bantal kecil yang
ada di ruang tamu. “Enak saja. Bantu kami merapikan kamar, memasak selama
seminggu, nyuci baju-baju...,” ujar Sharihan sambil memukuli Yasmin dengan
bantal bertubi-tubi. Lamya pun tidak kalah “sadis”. Pukulan-pukulan
persahabatan yang membangunkan Yasmin dari alam mimpi buruk, kembali ke dunia
nyata.
*********
Rab’ah El Adaweya, 28 Januari 2003
*Penulis, asal Bangkalan, Madura, Mahasiswi tingkat akhir, Universitas
Al-Azhar, Kairo.
0 comments:
Post a Comment