BELAJAR BERJIWA BESAR
DARI
MUHAMMAD BIN ABDULLAH SAW, UMAR IBNU KHATHTHOB, SALAHUDIN AL-AYYUBI
Kisah ini... sampai kapanpun pun akan selalu membuat air mata menitik penuh bangga kepada nabi kita Muhammad Rasulullah (saw) yang berjiwa besar. Lelaki itu terus berlari bersama sahabatnya untuk menghindari lemparan dan amukan. Puluhan mungkin ratusan batu sebesar kepalan tangan menerjang, diiringi cacian dan hinaan yang menghina. Tubuh terluka. Kaki-kaki penuh darah. Bukan hanya Zaid, sahabat yang ingin menangis menyaksikan perlakuan Bani Thaif itu kepada Rasulullah, tetapi juga alam semesta.
Sungguh memilukannya peristiwa itu, hingga malaikat Jibril As dan malaikat penjaga gunung datang menghampiri Nabi Muhamamd (saw). Ekspresi amarah semesta diwakili oleh ucapan malaikat penjaga gunung:
"Perintahkanlah aku! Seandainya engkau menghendaki kedua bukit ini dihimpitkan kepada mereka, niscaya akan aku lakukan dengan segera!"
Tapi Rasulullah menjawab dengan jawaban yang tidak biasa diberikan oleh manusia biasa apabila dalam keadaan sedemikian. Rasulullah menjawab seluruh penghinaan, perlakuan, dan siksaan Bani Thaif itu dengan do'a:
"Allahummahdii qawmii fainnahum laa ya'lamuun" (Ya Allah berilah hidayah kepada kaumku ini, karena mereka masih juga belum faham tentang arti Islam).
Bahkan Rasulullah juga mendoakan agar keturunan mereka nanti akan menyembah Allah semata-mata dan tidak mempersekutukanNya dengan apa pun. Sejarah kemudian membuktikan bahwa sebenarnya beberapa tahun selepas peristiwa itu berlaku para pejuang Islam dari Thaif terkenal dengan keberaniannya di medan-medan jihad menegakkan agama Allah.
Seandainya diri ini adalah manusia yang didzalimi itu. Lelaki yang kehormatannya dipijak-pijak oleh kaum itu, kemudian beberapa waktu mempunyai sebuah kekuatan, punyai kekuasaan besar yang bisa saja menghukum mereka, hukuman apa yang akan diberikan kepada mereka?
Rasul mulia itu Muhammad (SAW) mengajarkan pelajaran: BERJIWA BESAR! Pelajaran yang tidak pernah dapat terangkum dalam lembaran-lembaran teori, tetapi pelajaran hidup ini selalu hadir bersama manusia-manusia berjiwa besar dalam sejarah manusia.
Tidak akan benar-benar dapat memahami “Jiwa besar” ini singgalah di suatu waktu dalam kehidupan mengalaminya. Terpaksa membuat pilihan-pilihan yang sukar, memilih menjadi “manusia biasa” atau manusia “mulia” berjiwa besar.
Kebesaran jiwa ini dimiliki Umar bin AI Khattab (R.a), ketika beliau memikul sendiri sekarung gandum pada malam hari kepada rakyatnya yang kelaparan. Keridhaan beliau ketika dikritik dengan kritikan yang memerahkan telinga oleh seorang perempuan di depan orang banyak.
Disatu sisi, beliau seorang pemimpin di tangannya Islam berkembang secara cepat. Asalnya agama kecil di kota Mekkah menjadi salah satu kekuatan dunia menyaingi Rom dan Parsi. Umar ra pemimpin besar yang jauh lebih brilliant dari pada Julius Caesar, Charlemagne, bahkan Alexander the Great.
Kebesaran jiwa ini juga dimiliki oleh seorang Mujahid perang berkaliber Salahuddin Al-Ayyubi ketika membebaskan Palestina (Jerusalem). Ketika beliau menakluki Jurusalem dalam keadaan menang, beliau tidak membalas dendam terhadap pasukan salib yang dulunya mendzalimi kaum muslimin.
Seluruh kaum muslimin dibantai, rumah-rumah dan masjid dibakar, perempuan diperkosa dan anak-anak dibunuh di depan orang tua mereka. Namun Mujahid agung ini memasuki kota suci dengan penuh kerendahan hati. Rumah-rumah ibadah dibiarkan tegak, para pemeluknya dilindungi, dan para “knight of templar” diberi pilihan untuk tinggal atau pergi meninggalkan kota suci.
Jiwa besarnya tiada tara ketika beliau mengirimkan seorang dokter untuk merawat dan menyembuhkan sakit yang diderita oleh musuhnya dalam perang, Raja Richard “The Lion Heart” dari England.
Kebesaran jiwa yang menggetarkan kawan maupun lawan, menjadikan pahlawan jihad ini sebagai legenda sekaligus idola di kalangan musuh-musuhnya.
Kebesaran jiwa itu adalah pilihan. Ketika perasaan marah, godaan geram untuk membalas dan menyiksa yang begitu dekat di depan mata, lalu lebih memilih untuk memaafkan, bersabar dan berlapang dada atas segalanya.
Kebesaran jiwa itu adalah keteduhan perasaan ketika segalanya menjadi panas dengan nafsu amarah. Kebesaran jiwa itu adalah ketenangan saat semuanya menjadi rumit. Kebesaran jiwa itu adalah saat bencinya yang menggunung menjadi kasih sayang.
Kebesaran jiwa itu adalah saat kekerasan menjadi kelembutan.Namun kebesaran jiwa itu bukanlah kelemahan, bukan kekalahan apalagi kebancian. Kebesaran jiwa itu adalah perpaduan antara keberanian, kekuatan, kasih sayang dan kemaafan.
Manusia-manusia besar adalah orang-orang yang ketika hidupnya menemukan pilihan yang sama, berani, kuat, marah, benci dan dendam, memilih jalan kasih sayang dan memaafkan, semata keridhaan Allah yang dicarinya.
Sumber: Mutiara Amali-18
0 comments:
Post a Comment