Ada Apa dengan Cinta Kita

Ada Apa dengan Cinta Kita 


Ada Apa dengan Cinta Kita
Sebenarnya hati ini cinta kepada-Mu 
Sebenarnya din ini rindu kepada-Mu 
Tapi aku tidak mengerti Mengapa cinta masih tak hadir Tapi aku tidak mengerti 
Mengapa rindu belum berbunga... (Raihan) 

Beberapa bait senandung di atas merupakan nasyid Raihan yang menggambarkan susahnya mencintai Allah. Mulut berkata cinta kepada-Nya. Tetapi pikiran, hati dan perilaku tak pernah selaras dengan mulut. Maka, jadilah perbuatan kita bertolak belakang dengan ucapan. 

Kita tak mengerti atau tak mau mengerti, mengapa cinta dan rindu kepada Sang Kekasih, Allah 'azza wajalla, tak juga tumbuh. Kita ingin mencintai dan dicintai Allah, tetapi bagaimana Dia bisa mencintai kita, kalau kita sendiri tak mencintai-Nya— meskipun kita mengaku cinta? 

Ada apa dengan cinta kita? Ketika telepon berdering, kita berlari dan cepat-cepat mengangkatnya. Tetapi tatkala kumandang adzan bergema, kita tetap asyik dengan pekerjaan kita atau bersantai-santai saja, seakan tak ada perasaan apa-apa. Itu menunjukkan, cinta kita kepada-Nya, memang belum hadir. Rindu kita kepada-Nya tak tumbuh. Sungguh berbeda dengan percintaan sesama anak manusia. Seseorang yang sedang dimabuk cinta, akan menuruti kemauan sang kekasih, takut menyinggung perasaan dan berkorban demi kepentingan dan kesenangan hatinya. Perasaan kita tenggelam dengan orang yang dicintai. 

Mengapa kita tak pernah mencintai Allah lebih dari itu? Mengapa cinta kita pada makhluk melebihi cinta kita kepada-Nya? (QS al-Baqa-rah:165 dan at-Taubah:24)). Ada yang tak beres dengan syahadat yang kita ucapkan. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, 'aku mengaku tiada ilah (tuhan) selain Allah.' Kalimat pertama syahadat ini mengandung makna: tak ada yang kita ikuti, kecuali Allah. Tak ada yang kita taati, kecuali Allah. Tak ada yang kita agungkan, kecuali Allah. Tak ada yang lebih kita cintai, melainkan Allah. Kenyataannya kalimat tauhid di atas hanya mampir di bibir. Kita tak pernah menumbuhkan perasaan cinta tersebut. Bahkan dengan sengaja kita mengabaikan dan menelantarkan cinta kita kepada-Nya. Mengapa? Padahal kalau ditanya, kita ingin sekali mencintai Allah. 

Bagaimana kita bisa mencintai-Nya, kalau kita sendiri tak pernah memproses cinta tersebut? Bagaimana bisa mencintai-Nya, jika kita sendiri tak mau mengondisikan diri kita untuk dekat kepada-Nya? Bagaimana mungkin mencintai-Nya, kalau kita sendiri lebih dekat dengan lingkungan mungkar dan maksiat? Mana mungkin kita men¬cintai-Nya, jika perasaan, ghirah dan gairah Islam, tak pernah kita pupuk ke lubuk kita yang paling dalam? Untuk bisa mencintai dan dicintai-Nya, kita harus berada dalam ling¬kungan orang-orang yang dekat kepada Allah. 

Segala aktivitas harus kita arahkan di jalan-Nya dan bersama orang-orang yang mencintai-Nya. Kedekatan kita dengan kemaksiatan, menyebabkan kita susah mencintai dan dicintai Allah. Imam Syafi'i dalam salah satu sya'irnya berujar: Engkau bermaksiat pada Allah tapi mengaku mencintai-Nya Sungguh sebuah analogi yang menggelikan Jika cintamu tulus, pasti engkau menaatinya, Karena pecinta selalu patuh pada yang dicintainya.... 

Oleh M.U. Salman

Share on Google Plus

About Unknown

Satrio Utama Nopenri (Rio Anderta)
Kontak:
FB: https://www.facebook.com/RioAnderta
Twitter: @Anderta
Instagram: rioanderta
Email: rioanderta90@gmail.com

0 comments:

Post a Comment