Kumpulan Cerpen - Cahaya fajar
daerah pedesaan ternyata lebih indah dari pada ditengah-tengah hidup yang serba
dilayani mesin. Mulai dari bejalan dan berlari dilayani mesin, menulis dilayani
mesin, sampai makanpun dilayani mesin. Yah, hidup tergantung dengan mesin.
Inilah yang terjadi pada zaman yang serba metropolitan. Zaman yang kata emak ku
zaman nenek moyang gaol.
Alhamdulillah………
Setelah
beberapa hari bercinta dengan kumpulan lembaran-lembaran ilmiah dan dengan
semua kepenatan yang menata indah pikiranku, akhirnya mata yang mulai sayu ini dapat kembali
merasakan nikmatnya berada di alam luas.
Alam yang mampu membuatku melupakan dunia kampusku yang tengah bergelut dengan beragam
pemikiran, dunia yang penuh rekayasa hidup. Meski aku tahu setiap hidup adalah
rekayasa. Namun, berada ditempat ini, membuat pikiranku lebih luas, seluas
hamparan sawah yang tengah berada disekelilingku. Kembali melupakan sejenak kepenatan yang sejak lama tengah menggerogoti harian tinta standarku.
Mata-mata itu
menatapku dengan penuh tanda tanya. Pulang kampung, terasa menjadi asing. Ada mata-mata yang melirik
semua gerak-gerikku, dari bawah sampai atas tak ada satu pun ketinggalan. Layaknya
artis masuk desa, menjadi pusat perhatian. Permasalahanya tak lain adalah karena
pakaian gamis dengan jilbab lebarku. Kata mereka sih, ninja masuk desa.
“uh, enak aja bilang ninja!!”
Emakku berulang kali memintaku memendekkan jilbabku, kata beliau sih “untuk sementara”. Namun, ada
2 hal yang menghambat pikiranku mengenai strategi hidup yang disampaikan oleh
orang disekelilingku. Kata kakak tingkatku kita harus mampu menyesuaikan diri,
jika kita berada dikandang ayam, maka kita berkokok. Jika kita berada dikandang
kambing, maka kita mengembek, dll. Berarti
jika aku berada ditengah-tengah penjudi, maka aku harus berjudi. Ih….norak!!,,ini
hanya pikiran awamku.
Tapi, bertolak belakang dengan
pernyataan ustad yang pernah menyampaikan taujihnya di musholla shelter
kampusku. Kata beliau “kita harus seperti emas, meski dimanapun tetaplah emas
sekalipun itu di ditengah lumpur, akan tetap disebut emas. Namun, jangan
seperti batu es, jika es dan air disatukan maka tidak bisa dibedakan mana air
mana es. Karena keduanya melebur menjadi satu, sehingga tak ada bedanya lagi”.
Lalu solusinya apa donk?, soalnya kedua
pernyataan itu bertolak belakang.
Kutanyakan semua pikiran penatku dengan emakku yang ku anggap serba
pintar. Kata emakku “jika kita berada dikandang ayam, maka bertelurlah emas.
Jika berada dikandang kambing, maka lahirkanlah emas. Agar engkau menjadi
emas tanpa harus berkokok dan mengembek. Karena engkau bukanlah binatang.”
“Hem,,,emak ku
emang pinter kalo soal menafsirkan makna
versi dia, jelaslah aku bukan binatang. Dasar emak….!!”
Dengan jawaban emak seperti itu, membuka peluangku untuk tetap
seperti awal. Ku putuskan untuk tetap mengenakan jilbab lebarku, tentunya akan
tetap menjadi orang yang mampu memberikan kenyamanan untuk orang lain. Seperti yang
disampaikan ustad sholeh, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang mampu
memberikan manfaat kepada orang lain. Jika ia belum bisa memberikan manfaat
kepada orang lain, ia akan memperbaiki dirinya dan memberikan manfaat untuk
dirinya sendri.
--------
Senja menguning
di ufuk timur, burung-burung mulai kembali kesarangnya. Ratusan kelilawar liar menghiasai tengah
sawah yang kian menghijau. Pertanda malam akan segera menghampiri. Kututup
pintu, ku ucapkan “Terima kasih ya Robb atas semua nikmat_Mu, lalu nikmat yang
mana yang pastas aku dustakan??”.
“Mira..!
Ambil lilin
diatas lemari!” printah emakku.
“Ya mak” jawabku
singkat.
Ku ambil 3 buah lilin yang telah emak persiapkan untuk malam ini,
kuhidupkan lalu kuperhatikan. Kemudian kutanyakan kepada emak:
“emak, teman-teman bilang jadilah seperti lilin, rela
berkorban meski ia habis terbakar. Karena
setinggi-tingginya iman adalah seseorang yang mendahulukan saudara yang lain.
Tapi, sebagian lagi bilang, jangan seperti lilin “mampu menerangi orang lain, namun tak mampu menerangi dirinya
sendiri. Lalu, aku mesti jadi yang mana mak? “
“Kamu nggak usah menjadi lilin, menjadi dirimu sendiri aja”. Kata
emak tanpa beban.
“iya juga ya mak ya, ngapain aku mau menjadi seperti lilin jika aku
sendiri tak sanggup menahan panas”. hee
Kemudian aku
segera membasahi mukaku sebagai tanda awal mensucikan diri, magrib kali ini ku
lalui bersama kedua orang tuaku. Begitu luar biasa menurutku.
------
Hari ini terasa
lebih indah dari hari sebelumnya, dan hari ini adalah hari kelima ku berada di
desa Emakku. Aku sudah merencanakan agenda yang akan ku lakukan hari ini, tak
lain adalah memburu buah-buahan yang ada di kebunku. Salah satunya buah jambu yang berada diatas sungai pinggir sawah sekitar 100 meter dari halaman
rumah. Jambu yang menggoda hati, buahnya yang menguning serta dihiasi pohon
kelapa disampingnya. Sehingga ketika sampai kepuncak jambu, akan bisa langsung
memetik buah kelapa yang kira-kira tingginya
50 meter.
Ku petik jambu dengan semangatnya, hingga
tanpa terasa aku telah berada di puncak pohon.
Ku naikkan kakiku berlahan diatas ranting-ranting kecil. Prek…!! Benda
kecil itu berbunyi. Ranting tempat
injakkan kakiku patah. Aku terpantul-pantul dari dahan satu kedahan yang lain,
sampai dahan yang paling bawah. Dan kemudian berakhir disungai. Ya, aku jatuh
masuk sungai. Samar-samar terdengar suara yang tak asing.
“Miraaaaa…!,
Miraaaa…..!
Ambil kelapa
jatuh!
Ternyata suara Ayahku. Aku bangkit dan kemudian langsung pulang
dengan kostum basahku. Ayah sejak tadi telah menantikan kehadiranku dengan angan
sebuah kelapa yang dianggapnya jatuh.
“loh kok basah? Kelapanya mana?” ,Tanya ayahku penasaran
“bukan kelapa yang jatuh yah, tapi aku”, jawabku dengan wajah
maluku.
Ayah tertawa
melihat tingkahku, masa anaknya jatuh malah dibilang kelapa jatuh. Uh….
Kutemukan senyum emak dibelakang ayah, emak segera memintaku untuk
mengganti pakaianku. Dan mengajakku untuk menambah energiku, karena ia telah
memasakkan masakan yang special untukku.
Kupercepat gerakku, tak tahan rasanya ingin segera menyantap hidangan
yang tak pernah kutemukan di daerah manapun
Ku tanyakan lagi
kepada emak,
“Emak, ada yang bilang hidup itu
tidak seperti air yang selalu mengalir. Tapi dalam hidup ada hambatan dan masalah-masalah yang harus kita hadapi. Ada juga yang bilang,
hiduplah seperti air meski banyak hambatan, namun ia tak pernah berhenti untuk selalu
mencari celah agar dapat melewatinya.
Hingga ia sampai kemuara” kenapa seperti itu mak??
“ya nggak kenapa-kenapa, begitulah
hidup. Selagi kita masih hidup di dunia, maka hambatan dan masalah-masalah itu
akan selalu ada, sekalipun kita menghindar. Kecuali jika kita sudah berada di
Surga”. Nah, sekarang mira hidupnya dimana? Tanya emakku
“didunia mak”. Jawabku singkat
“jadi, wajar jika engkau dihadapi
berbagai masalah. Dan jadikanlah masalah-masalah tersebut sebagai salah satu
jalanmu menuju surga-Nya”.
Emakku emang hebat deh, meski ia berada di desa, namun ia tetap
menjadi dosen terbaikku. Mengalahkan semua dosen-dosen terbaik yang ada di
kampusku.
------
Magrib kali ini
ku habiskan dirumah paman, pasalnya besok aku sudah harus mudik ke Kota, melanjutkan kembali
cita-cita yang diharapkan emak dan Ayah. Semua orang dirumah paman ternyata
sedari tadi menantikan kehadiranku, menanti untuk segera menjalankan ibadah
magrib. Kali ini paman yang menjadi imamnya, Paman mengambil sebuah kain
putih berbentuk persegi panjang dengan
ukuran jilbab lebarku. Kemudian ia mengikatkan dikepalanya, jika sekilas
diperhatikan ia seperti mengenakan jilbab. Aku dan emak mulai merasa aneh,
paman mulai membaca niat sholat dan
bacaannya dengan nada asing bagiku. Aku dan emak mengikuti shalat sampai
selesai. Namun ketika selesai sholat, paman mulai membacakan zikir yang biasa
ia baca. Semua orang yang berada dirumah paman mengikuti dengan khusyuk,
kecuali aku dan emak. Karena kami masih
belum bisa menerima. Mereka berdoa
seperti orang yang ingin
bergoyang, diiringi dengan nada zikir paman yang masih terasa asing ditelinga. Putra-putri
merekapun sepertinya sudah terbiasa dengan zikir Paman, mereka semua memejamkan
mata sambil menggoyangkan kepalanya kekiri
dan ke kanan hingga goyangan kepala dan badan semakin lama semakin kencang. Aku
dan emak tiba-tiba merasa takut, baru kali ini melihat secara langsung zikir yang
ada di hadapanku. Ku sudahi doaku, sudah
tak khyusuk lagi melihat yang terjadi. Kembali kutanyakan kepada emak, “mereka
aliran apa ya mak?”
“mana mak tau,
terserah mau aliran apa. Mak nggak mau ambil pusing, menurut emak tidak ada
yang benar dan yang salah, hanya saja BERBEDA. Begitu juga dengan kita, awal
orang yang melihatmu dengan jilbab lebarmu mungkin mereka mulai bertanya-tanya
kamu aliran apa. Tapi sebenarnya kita sama kan, tidak ada aliran. Hanya saja kita
berbeda dengan mereka. Sehingga itulah yang akan membentuk persepsi yang
berbeda pula. Bisa saja mereka berzikir seperti itu, karena ada sejarahnya yang
kita tidak tahu mungkin saja. Kamu nggak
usah ngurusin mereka, urus tuh kuliah mu?”
Masih sempat-sempatnya emak menyindir kuliah ku, tapi benar juga
apa kata emak. Karena BERBEDA sering kali kita
salah persepsi.
-----
Kupersiapkan semua
barang yang akan ku hijrahkan kembali ke Bengkulu, ku habiskan bercerita dengan paman malam ini. Paman
ternyata gaul juga, menasehatiku layaknya aku seorang remaja muslim modern. Kata paman yang selalu ku ingat adalah islam
itu bersih dan rapi, tidak seperti orang yang baca tulisan ini. heee
0 comments:
Post a Comment