Cerpen: HARIAN BOHONG



HARIAN  BOHONG
 oleh
Mira Kaizen

Kumpulan Cerpen: HARIAN  BOHONG

Kumpulan Cerpen - Cahaya fajar daerah pedesaan ternyata lebih indah dari pada ditengah-tengah hidup yang serba dilayani mesin. Mulai dari bejalan dan berlari dilayani mesin, menulis dilayani mesin, sampai makanpun dilayani mesin. Yah, hidup tergantung dengan mesin. Inilah yang terjadi pada zaman yang serba metropolitan. Zaman yang kata emak ku zaman nenek moyang gaol.
Alhamdulillah………
Setelah beberapa hari bercinta dengan kumpulan lembaran-lembaran ilmiah dan dengan semua kepenatan yang menata indah pikiranku, akhirnya  mata yang mulai sayu ini dapat kembali merasakan  nikmatnya berada di alam luas. Alam yang mampu membuatku melupakan dunia kampusku yang tengah bergelut dengan beragam pemikiran, dunia yang penuh rekayasa hidup. Meski aku tahu setiap hidup adalah rekayasa. Namun, berada ditempat ini, membuat pikiranku lebih luas, seluas hamparan sawah yang tengah berada disekelilingku. Kembali  melupakan sejenak kepenatan  yang sejak lama tengah menggerogoti  harian tinta standarku.
Mata-mata itu menatapku dengan penuh tanda tanya. Pulang kampung, terasa menjadi asing. Ada mata-mata yang melirik semua gerak-gerikku, dari bawah sampai atas tak ada satu pun ketinggalan. Layaknya artis masuk desa, menjadi pusat perhatian. Permasalahanya tak lain adalah karena pakaian gamis dengan jilbab lebarku. Kata mereka sih, ninja masuk desa.
“uh,  enak aja bilang ninja!!”
Emakku berulang kali memintaku memendekkan jilbabku,  kata beliau sih “untuk sementara”. Namun, ada 2 hal yang menghambat pikiranku mengenai strategi hidup yang disampaikan oleh orang disekelilingku. Kata kakak tingkatku kita harus mampu menyesuaikan diri, jika kita berada dikandang ayam, maka kita berkokok. Jika kita berada dikandang kambing, maka kita mengembek, dll.  Berarti jika aku berada ditengah-tengah penjudi, maka aku harus berjudi. Ih….norak!!,,ini hanya pikiran awamku.
Tapi, bertolak belakang dengan  pernyataan ustad yang pernah menyampaikan taujihnya di musholla shelter kampusku. Kata beliau “kita harus seperti emas, meski dimanapun tetaplah emas sekalipun itu di ditengah lumpur, akan tetap disebut emas. Namun, jangan seperti batu es, jika es dan air disatukan maka tidak bisa dibedakan mana air mana es. Karena keduanya melebur menjadi satu, sehingga tak ada bedanya lagi”.
 Lalu solusinya apa donk?, soalnya kedua pernyataan itu bertolak belakang.
Kutanyakan semua pikiran penatku dengan emakku yang ku anggap serba pintar. Kata emakku “jika kita berada dikandang ayam, maka bertelurlah emas. Jika berada dikandang kambing, maka lahirkanlah emas. Agar engkau menjadi emas  tanpa harus berkokok dan  mengembek. Karena engkau bukanlah binatang.”
“Hem,,,emak ku emang pinter kalo soal  menafsirkan makna versi dia, jelaslah aku bukan binatang. Dasar emak….!!”
Dengan jawaban emak seperti itu, membuka peluangku untuk tetap seperti awal. Ku putuskan untuk tetap mengenakan jilbab lebarku, tentunya akan tetap menjadi orang yang mampu memberikan kenyamanan untuk orang lain. Seperti yang disampaikan ustad sholeh, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Jika ia belum bisa memberikan manfaat kepada orang lain, ia akan memperbaiki dirinya dan memberikan manfaat untuk dirinya sendri.
--------

Senja menguning di ufuk timur, burung-burung mulai kembali kesarangnya.  Ratusan kelilawar liar menghiasai tengah sawah yang kian menghijau. Pertanda malam akan segera menghampiri. Kututup pintu, ku ucapkan “Terima kasih ya Robb atas semua nikmat_Mu, lalu nikmat yang mana yang pastas aku dustakan??”.
“Mira..!
Ambil lilin diatas lemari!” printah emakku.
“Ya mak” jawabku singkat.
Ku ambil 3 buah lilin yang telah emak persiapkan untuk malam ini, kuhidupkan lalu kuperhatikan. Kemudian kutanyakan kepada emak:
“emak, teman-teman bilang jadilah seperti lilin, rela berkorban  meski ia habis terbakar. Karena setinggi-tingginya iman adalah seseorang yang mendahulukan saudara yang lain. Tapi, sebagian lagi bilang, jangan seperti lilin “mampu menerangi  orang lain, namun tak mampu menerangi dirinya sendiri. Lalu, aku mesti jadi yang mana mak? “
“Kamu nggak usah menjadi lilin, menjadi dirimu sendiri aja”. Kata emak tanpa beban.
“iya juga ya mak ya, ngapain aku mau menjadi seperti lilin jika aku sendiri tak sanggup menahan panas”. hee
            Kemudian aku segera membasahi mukaku sebagai tanda awal mensucikan diri, magrib kali ini ku lalui bersama kedua orang tuaku. Begitu luar biasa menurutku.
------

Hari ini terasa lebih indah dari hari sebelumnya, dan hari ini adalah hari kelima ku berada di desa Emakku. Aku sudah merencanakan agenda yang akan ku lakukan hari ini, tak lain adalah memburu buah-buahan yang ada di kebunku. Salah satunya buah  jambu yang berada diatas sungai  pinggir sawah sekitar 100 meter dari halaman rumah. Jambu yang menggoda hati, buahnya yang menguning serta dihiasi pohon kelapa disampingnya. Sehingga ketika sampai kepuncak jambu, akan bisa langsung memetik buah kelapa yang kira-kira tingginya  50 meter.
 Ku petik jambu dengan semangatnya, hingga tanpa terasa aku telah berada di puncak pohon.  Ku naikkan kakiku berlahan diatas ranting-ranting kecil. Prek…!! Benda kecil itu berbunyi.  Ranting tempat injakkan kakiku patah. Aku terpantul-pantul dari dahan satu kedahan yang lain, sampai dahan yang paling bawah. Dan kemudian berakhir disungai. Ya, aku jatuh masuk sungai. Samar-samar terdengar suara yang tak asing.
“Miraaaaa…!,
 Miraaaa…..!
Ambil kelapa jatuh!
Ternyata suara Ayahku. Aku bangkit dan kemudian langsung pulang dengan kostum basahku. Ayah sejak tadi telah menantikan kehadiranku dengan angan sebuah kelapa yang dianggapnya jatuh.
“loh kok basah? Kelapanya mana?” ,Tanya ayahku penasaran
“bukan kelapa yang jatuh yah, tapi aku”, jawabku dengan wajah maluku.
            Ayah tertawa melihat tingkahku, masa anaknya jatuh malah dibilang kelapa jatuh. Uh….
Kutemukan senyum emak dibelakang ayah, emak segera memintaku untuk mengganti pakaianku. Dan mengajakku untuk menambah energiku, karena ia telah memasakkan masakan yang special untukku.  Kupercepat gerakku, tak tahan rasanya ingin segera menyantap hidangan yang tak pernah kutemukan di daerah manapun
            Ku tanyakan lagi kepada emak,
            “Emak, ada yang bilang hidup itu tidak seperti air yang selalu mengalir. Tapi dalam hidup ada hambatan  dan masalah-masalah yang harus kita hadapi. Ada juga yang bilang, hiduplah seperti air meski banyak hambatan, namun ia tak pernah berhenti untuk selalu mencari celah agar dapat  melewatinya. Hingga ia sampai kemuara” kenapa seperti itu mak??
            “ya nggak kenapa-kenapa, begitulah hidup. Selagi kita masih hidup di dunia, maka hambatan dan masalah-masalah itu akan selalu ada, sekalipun kita menghindar. Kecuali jika kita sudah berada di Surga”. Nah, sekarang mira hidupnya dimana? Tanya emakku
            “didunia mak”. Jawabku singkat
            “jadi, wajar jika engkau dihadapi berbagai masalah. Dan jadikanlah masalah-masalah tersebut sebagai salah satu jalanmu menuju  surga-Nya”.
Emakku emang hebat deh, meski ia berada di desa, namun ia tetap menjadi dosen terbaikku. Mengalahkan semua dosen-dosen terbaik yang ada di kampusku.
------

Magrib kali ini ku habiskan dirumah paman, pasalnya besok aku sudah harus mudik ke Kota, melanjutkan kembali cita-cita yang diharapkan emak dan Ayah. Semua orang dirumah paman ternyata sedari tadi menantikan kehadiranku, menanti untuk segera menjalankan ibadah magrib. Kali ini paman yang menjadi imamnya, Paman mengambil sebuah kain putih  berbentuk persegi panjang dengan ukuran jilbab lebarku. Kemudian ia mengikatkan dikepalanya, jika sekilas diperhatikan ia seperti mengenakan jilbab. Aku dan emak mulai merasa aneh, paman mulai membaca niat sholat  dan bacaannya dengan nada asing bagiku. Aku dan emak mengikuti shalat sampai selesai. Namun ketika selesai sholat, paman mulai membacakan zikir yang biasa ia baca. Semua orang yang berada dirumah paman mengikuti dengan khusyuk, kecuali aku dan emak.  Karena kami masih belum bisa menerima. Mereka berdoa  seperti  orang yang ingin bergoyang, diiringi dengan nada zikir paman yang  masih terasa asing ditelinga. Putra-putri merekapun sepertinya sudah terbiasa dengan zikir Paman, mereka semua memejamkan mata sambil  menggoyangkan kepalanya kekiri dan ke kanan hingga goyangan kepala dan badan semakin lama semakin kencang. Aku dan emak tiba-tiba merasa takut, baru kali ini melihat secara langsung zikir yang ada di hadapanku.  Ku sudahi doaku, sudah tak khyusuk lagi melihat yang terjadi. Kembali kutanyakan kepada emak, “mereka aliran apa ya mak?”
“mana mak tau, terserah mau aliran apa. Mak nggak mau ambil pusing, menurut emak tidak ada yang benar dan yang salah, hanya saja BERBEDA. Begitu juga dengan kita, awal orang yang melihatmu dengan jilbab lebarmu mungkin mereka mulai bertanya-tanya kamu aliran apa. Tapi sebenarnya kita sama kan, tidak ada aliran. Hanya saja kita berbeda dengan mereka. Sehingga itulah yang akan membentuk persepsi yang berbeda pula. Bisa saja mereka berzikir seperti itu, karena ada sejarahnya yang kita tidak tahu mungkin saja. Kamu  nggak usah  ngurusin mereka, urus tuh kuliah mu?”
Masih sempat-sempatnya emak menyindir kuliah ku, tapi benar juga apa kata emak. Karena BERBEDA sering kali kita  salah persepsi.
-----
Kupersiapkan semua barang yang akan ku hijrahkan kembali ke Bengkulu, ku habiskan  bercerita dengan paman malam ini. Paman ternyata gaul juga, menasehatiku layaknya aku seorang remaja  muslim modern.  Kata paman yang selalu ku ingat adalah islam itu bersih dan rapi, tidak seperti orang yang baca tulisan ini. heee
Share on Google Plus

About Unknown

Satrio Utama Nopenri (Rio Anderta)
Kontak:
FB: https://www.facebook.com/RioAnderta
Twitter: @Anderta
Instagram: rioanderta
Email: rioanderta90@gmail.com

0 comments:

Post a Comment