Metodologi Penafsiran al-Qur'an


METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN Oleh Rio Anderta

METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Oleh
Satrio Utama Nopenri


A.  Pengertian Metodologi Tafsir
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”  yakni meta  dan hodos.  Meta  yang berarti melalui dan hodos  berarti cara atau jalan. Di dalam bahasa Inggris kata ini ditulis “method” yang berarti cara[1]  dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan “thari>qah” dan “manhaj” yang berarti jalan yang harus ditempuh[2]. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”[3]. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan.

Adapun tafsir secara bahasa mengikuti wazan taf’il berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, kata tafsir merupakan masdar dan jamaknya adalah tafasir. Artinya adalah menjelaskan, menyingkat, menerangkan, menampakkan makna abstrak.[4] Istilah tafsir merujuk kepada Al-Qur’an sebagaimana termaktub di dalam ayat 33 surah al-Furqon[5]:

  “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”

Tafsir menurut istilah sebagai berikut:
1)   Al-kilby
التفسير : شرح القران وبيان معناه والافصاح بما يقتضيه بنصه اوشارته اونجواه
Tafsir adalah mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, ataupun dengan najuannya.[6]

2)   Az-Zarkasyi
التفسير بيان معانى القران واستخراج احكامه وحكمه
Tafsir itu, ialah: menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.[7]

3)   Al-Jazairi
التفسير فى لحقيقة انما هوشرح الفظ المستقلق عندالسامع بماهوافصح عنده. بمايرادفه اويقاربه اوله دلالةعليه باحدى طرق الدلا لات
Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalahnya.[8]

4)   Al-Jurjany
التفسير فى الاصل الكشف والاظهار. وفى الشرع توضيح معنى الاية : شأنها وقصتها والسبب الذى نزلت فيه بلفظ يدل عليه دلالة ظاهرة
Tafsir, pada asalnya ialah : membuka dan melahirkan. Pada istilah syara’ ialah: menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an, baik dari segi segala persoalan, kisahnya maupun dari segi asbab al-nuzul-nya, dengan menggunakan lafal (penjelasan) yang dapat menunjuk makna secara terang.[9]
Menurut penulis berdasarkan  beberapa  pengertian  tersebut  dapat  dipahami  bahwa tafsir  adalah   hasil  usaha  atau  ilmu  yang  memuat  pembahasan  mengenai penjelasan tentang  makna  Al-Qur'an. Penjelasan tersebut diupayakan dengan  tujuan  agar apa  yang  tidak  (belum)   jelas  maksudnya  menjadi  jelas, yang   samar   menjadi   terang   dan   yang   sulit   dipahami   menjadi  mudah sedemikian rupa, sehingga   Al-Qur'an  yang fungsi utamanya adalah menjadi pedoman  hidup  (hidayah)  bagi  manusia  dapat  dipahami,  dihayati dan diamalkan sebagaimana mestinya.[10] Jadi, yang dimaksud metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran atau lafazh-lafazh yang musykil yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w.[11].
Defenisi ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa metode tafsir al-Qur’an tersebut berisi seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Apabila seseorang menafsirkan al-Qur’an tanpa menempuh alur-alur yang telah ditetapkan dalam metode tafsir maka tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Tafsir serupa ini disebut bi al-ra’y al-mahdh (tafsir berdasarkan pemikiran semata) yang dilarang oleh Nabi, bahkan Ibn Taymiyat menegaskan penafsiran serupa itu adalah haram[12].
Adapun pengertian metodologi tafsir itu sendiri ialah ilmu tentang menafsirkan al-Qur’an. Jika ditelusuri perkembangan tafsir al-Qur’an sejak dahulu sampai sekarang, akan ditemukan bahwa garis besarnya penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat cara (metode) yaitu: Ijma>li, Tah}li>li>, Muqa>rin, dan Maudhu>’i[13].

B. Metode Ijma>li
1.  Pengertian
Kata Ijma>li secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan[14]. Sedangkan metode Ijma>li  itu sendiri menurut Nashruddin Baidan ialah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara mengemukakan makna global yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca[15]. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushhaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.[16]
Menurut penulis berdasarkan  beberapa  pengertian  tersebut  dapat  dipahami  bahwa, metode Ijma>li  merupakan suatu metode penafsiran Al-Quran dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran secara sistematis melalui pembahasan yang bersifat umum   (global), ringkas tanpa uraian yang panjang dan luas, dan juga tidak secara rinci, meski demikian pembahasannya padat dan mencakup sehingga dapat dengan mudah dipahami dan dimengerti oleh pembacanya.

2.  Ciri-Ciri Metode Ijma>li
Dalam metode Ijma>li  seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode analitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijma>li  tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis[17].

3.  Langkah-Langkah yang ditempuh dalam Metode  Ijma>li
Adapun langkah-langkah yang mesti ditempuh oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode Ijma>li , yakni sebagai berikut[18]:
a.              Menentukan ayat Al-Quran yang akan ditafsirkan menurut urutannya dalam mushaf atau menurut urutan turunnya.
b.             Menjelaskan makna mufradat ( kosa kata ) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
c.              Menjelaskan makna ayat-ayat tersebut berdasarkan kaidah- kaidah bahasa arab, seperti menjelaskan hukum dhamir dan susunan kalimatnya.
d.             Kadangkala  juga menjelaskan asbabun nuzulnya dan munasabahnya.
e.              Dalam penafsirannya dijelaskan dengan hadis, atsar para sahabat dan orang-orang shaleh terdahulu  atau pendapat penafsir sendiri.

4.  Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijma>li
a.  Kelebihan
1)           Praktis dan mudah dipahami, tafsir yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Tanpa berbelit-belit pemahaman al-Qur’an segera dapat dipahami oleh pembacanya.[19]
2)           Bebas dari penafsiran Israiliyat, dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan, maka tafsir Ijma>li relatif murni dan terbebas dari pemikiran israiliyat[20].
3)           Akrab dengan bahasa al-Qur’an, tafsir ijma>li ini menggunakan bahasa yang singkat dan padat, sehingga pembaca tidak merasakan bahwa ia telah membaca kitab tafsir. Hal ini disebabkan, karena tafsir dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa kitab suci tersebut[21].
Menurut hemat penulis, tafsir yang menggunakan metode ini sangat cocok untuk masyarakat awam. Penjelasannya yang ringkas dan padat mengenai isi kandungan al-Qur’an serta dengan bahasa yang mudah dipahami, membuat pembacanya akan sangat mudah untuk mengambil pesan-pesan yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut, tanpa harus berfikir terlalu mendalam. Oleh sebab itu tafsir dengan metode global ini banyak disukai oleh umat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyarakat.
b.    Kekurangan
Kekurangan metode ini uraian yang bersifat global saja, sehingga maksud ayat secara luas tidak bisa terungkap dengan tunas  sesuai dengan perkembangan zaman.[22] Menurut hemat penulis karena penjelasanya yang bersifat global maka petunjuk al-Qur’an menjadi tidak utuh dan terpecah-pecah, padahal ayat-ayat al-Qur’an antara yang satu dengan lain saling berkaitan dan melengkapi. Tak jarang kita jumpai ayat yang satu dijelaskan secara rinci atau diperjelas maknanya oleh ayat lainnya.  Selain itu juga metode ini tidak cocok bagi mereka yang menginginkan pemahaman yang menyeluruh (rinci), karena metode ini tidak menyediakan ruang untuk memberikan uraian secara mendalam.

5.  Kitab-kitab Tafsir dengan Metode Ijma>li
Di antara kitab-kitab tafsir yang termasuk menggunakan metode Ijma>li ini antara lain[23]:
a.  Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Muhammad Farid Wajdi,
b.  Al-Tafsir al-Wasith, produk lembaga pengkajian Universitas al-Azhar, Kairo,
c.   Tafsir al-Jalalain, karya Jalaludin al-Suyuthiy dan Jalaludin al-Mahalli,
d.  Shafwah al-Bayan li Ma’I al-Qur’an, karya Syeikh Husanaini Muhammad Makhlut,
e.   Tafsir al-Qur’an, karya Ibnu Abbas yang dihimpun oleh Fayruzabadi,
f.    At-Tafsir al-Muyassar, karya Syeikh Abdul Jalil Isa,
g.  Taj al-Tafsir, karya Muhammad Utsman al-Mirghani.

C. Metode Tah}li>li>
1.  Pengertian
Kata tah}li>li>  berasal dari kata “h}allala-yuh}allilu” yang berarti menguraikan atau menganalisa[24]. Metode tah}li>li>  adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.[25] Dalam  metode  ini,  penafsir  mengikuti urutan  ayat sebagaimana  yang telah tersusun dalam mushaf.
Memulai uraiannya dengan mengemukakan arti  kosa kata  diikuti dengan penjelasan mengenai  arti global ayat, mengemukakan munasabah  (korelasi)  ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain, membahas mengenai Sabab al-Nuzul  dan dalil- dalil yang berasal dari Rasul, sahabat, tabi’in  maupun para penafsir itu sendiri sesuai dengan keahlian dan kecenderungannya [26].
Menurut penulis berdasarkan  beberapa  pengertian  tersebut  dapat  dipahami  bahwa, metode Tah}li>li>  merupakan suatu metode yang bermaksud menjelaskan dan menguraikan kandungan ayat-ayat Al Qur'an dari segala sisinya secara terperinci dan jelas, sesuai dengan urutan ayat dalam mushaf.

2.  Ciri-ciri Metode Tah}li>li>
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tah}li>li>  terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan. Serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan[27].

3.  Langkah-Langkah yang ditempuh dalam Metode Tah}li>li>
Metode tah}li>li> digunakan oleh mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dilakukan dengan menempuh cara sebagai berikut[28]:
a.     Menyebutkan sejumlah ayat pada awal pembahasan
Pada setiap pembahasan dimulai dengan mencantumkan satu ayat, dua ayat atau tiga ayat al-Qur’an untuk maksud tertentu, yaitu keterangan global (ijma>l) bagi surat dan menjelaskan maksudnya yang mendasar.

b.    Menjelaskan arti kata-kata yang sulit
Setelah penafsir menyebutkan ayat-ayat yang akan dibahas kemudian diuraikan lafal itu kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan hal yang munasabah dengan ayat itu.

c.     Memberikan garis besar maksud beberapa ayat
Penafsir selanjutnya memberikan formulasi maksud ayat atau sejumlah ayat agar pembaca memperoleh gambaran umum sehingga dapat lebih mempermudah penafsiran ayat berikutnya.

d.    Menerangkan konteks ayat
Untuk memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak bisa dilepaskan dengan konteks kata tersebut dengan seluruh kata dalam redaksi ayat itu.

e.     Menerangkan sebab-sebab turun ayat
Menerangkan sebab turun ayat dengan berdasarkan riwayat sah. Dengan mengetahui sebab turun ayat akan membantu dalam memahami ayat. Hal ini dapat dimengerti karena ilmu tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat.

f.      Memperhatikan keterangan-keterangan yang bersumber dari Nabi dan sahabat atau tabi’in.
Cara menafsirkan al-Qur’an yang terbaik adalah menafsirkannya dari al-Qur’an, apabila tidak dijumpai di dalamnya maka tafsirnya dari sunnah. Apabila sunnah tidak dijumpai, maka kembalikan kepada perkataan sahabat dan tabi’in.

g.    Memahami disiplin ilmu tertentu
Dinamika transformasi peradaban akan membawa pengaruh pemahaman al-Qur’an. Sudah jelas al-Qur’an sangat menghargai transformasi peradaban yang sarat dengan inovasi-inovasi ilmiah. Al-Qur’an sangat menghargai penemuan-penemuan ilmiah dengan berprinsip pada ada tidaknya redaksi ayat yang dapat membenarkan penemuan itu.

4.  Kelebihan dan Kekurangan Metode Tah}li>li>
a.     Adapun kelebihan metode ini sebagai berikut[29]:
1)   Metode tah}li>li> banyak digunakan oleh mufasir, terutama pada zaman klasik dan pertengahan, sekalipun ragam dan coraknya bermacam-macam.
2)   Penafsiran terhadap suatu ayat dapat dilakukan seluas mungkin, dengan tinjauan dari berbagai sudut dan aspeknya, sehingga terlihat bahwa ayat memiliki makna cakupan yang amat luas.
3)   Penafsiran terhadap suatu ayat dapat dilakukan secara tuntas, baik dari sudut bahasa, sejarah sabab nuzulnya, munasabahnya dengan ayat atau surat yang lain, maupun kandungan isinya. Dengan metode ini dapat dikatakan, semua bagian dari ayat dapat ditafsirkan dan tidak ada yang ditinggalkan.
4)   Pada saat melakukan penafsiran, mufasir dapat memfokuskan perhatian kepada ayat itu saja, tanpa harus mencari atau menghubungkannya dengan ayat-ayat lain yang membicarakan masalah yang sama, dengan demikian fokus perhatian menjadi terarah.
5)   Metode ini dapat memberikan kontribusi terhadap metode-metode tafsir lain sebagai pijakan dalam menghimpun ayat-ayat yang mengacu pada suatu topik khususnya metode maudhu>’i  (tematik) dan dapat diibaratkan sebagai bahan baku bagi tafsir maudhu>’i.
Menurut hemat penulis, kelebihan dari metode ini ialah memberikan kesempatan kepada penafsir untuk mengkaji ayat-ayat al-Qur’an secara mendalam dari berbagai aspeknya. Karena keluasan ruang lingkupnya, mufasir  relatif mempunyai kebebasan dalam mengajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru sesuai dengan kemampuan dan keahlian mufasir tersebut. Selain itu karena metode ini memberikan kesempatan kepada mufasir untuk memuat ide-idenya maka tafsir yang dihasilkan akan beraneka ragam corak seperti; fiqh, falsafi, ‘Ilmi, shufi, dan lain-lain.

b.    Adapun kekurangan metode tah}li>li>   ini sebagai berikut[30]:
1)   Metode ini tidak dapat menyelesaikan secara tuntas suatu pokok bahasan. Sebab seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain, pada bagian lain dalam surat tersebut, atau dalam surat lain yang dibahas tidak dapat diselesaikan secara utuh.
2)   Terkesan agak mengulang-ulang sehingga menghambat perkembangan pemikiran Islam disamping juga akan menghabiskan waktu yang sangat lama.
3)   Para mufasir yang menggunakan metode ini umumnya pasif, karena al-Qur’an hanya ditonjolkan arti harfiahnya, mencatat sejauh kemampuannya, membatasi dirinya terhadap pengungkapan arti ayat-ayat al-Qur’an secara terinci.
4)   Metode ini sering digunakan oleh mufasir sebagai alat untuk melegitimasi pendapat-pendapatnya sendiri dengan ayat-ayat al-Qur’an, dengan kata lain, melalui metode ini mufasir dapat menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang bisa digunakan untuk memperkuat pendapat pribadinya. Dengan demikian, nilai objektifitas penafsiran menjadi berkurang.
5)   Metode ini tidak mampu memberikan jawaban yang tuntas dan menyeluruh terhadap berbagai problem yang dihadapi umat dan tidak banyak memberi rambu-rambu yang dapat mengurangi subyektifitas mufassirnya.
6)   Pembahasan yang dilakukan melalui metode ini terasa seakan-akan mengikat generasi berikutnya. Karena penafsirannya bersifat sangat umum dan teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran terhadap persoalan-persoalan khusus yang dialami oleh para mufasir di dalam kehidupan masyarakat mereka, akibatnya penafsiran tersebut memberikan kesan seolah-olah itulah pandangan al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat.
7)   Metode tahli<li> biasanya menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Quraish Shihab dan Muhammad Bagir al-Shadr. Menurut Quraish Shihab, metode tah}li>li> ini seperti halnya orang prasmanan, bisa lebih santai dan memuaskan penafsirannya, tetapi memang memakan waktu yang lama.
Menurut hemat penulis, kekurangan yang mendasar dari metode ini ialah melahirkan penafsiran yang subjektif. Adanya kebebasan dalam memuat ide-ide atau gagasan, serta beranjak dari fanatisme golongan (mazhab) membuat mufasir mencari legitimasi dari al-Qur’an untuk membenarkan pemikiran dan tindakannya. Tak jarang kita jumpai penafsiran yang dihasilkan metode ini mengarah kepada pemikiran mazhab tertentu.

5.  Kitab-kitab Tafsir dengan Metode Tah}li>li>
Ada cukup banyak contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir ini, antara lain[31]:
a.    Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n karangan Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H.)
b.    Ma’a>lim al-Tazi>l  karangan al-Baghawi (w. 516 H.)
c.     Tafsi>r al-‘Azhi>m  (terkenal dengan tafsir Ibn Katsir) karangan Abil Fida’ al-Hafiz Ibnu Katsir (w. 774 H.)
d.    Al-Durr al-Mantsu>r fi al-Tafsi>r bil al-Ma’tsu>r  karangan al-Suyuthi (w. 911 H.)
e.     Tafsi>r al-K}a>zin  karangan al-K}azin (w. 741 H.)
f.      Anwa>r al-Tanzil  wa Asra>r al-Ta’wi<l  karangan al-Bayd}a<wi< (691 H.)
g.    Al-Kasysyaf  karangan al-Zamak}syari> ( w. 538 H.)
h.    Al-Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>tih al-G}aib  karangan al-Fakhr al-Ra>zi> (w. 606)
i.      Tafsi>r al-Mana>r  Karangan Muhammad Rasyid Rid}a (w. 1935 H.)

D. Metode Muqa>rin
1.  Pengertian
Tafsir dengan metode muqa>rin adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecenderungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya.[32] Sedangkan menurut Nasruddin Baidan[33], para ahli tafsir tidak berbeda pendapat mengenai metode ini. Dari berbagai literatur dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode muqa>rin ialah sebagai berikut:
1)   Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam, dalam satu kasus yang sama, atau diduga sama,
2)   Membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw yang pada lahirnya antara keduanya terlihat bertentangan,
3)   Membandingkan berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Dari definisi ini menurut penulis terlihat secara jelas bahwa ruang lingkup tafsir komparatif sangat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat, ayat al Qur’an dengan hadits, bahkan membandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu kasus tertentu.

2.  Ciri-ciri Metode Muqa>ri<n
Perbandingan merupakan ciri utama metode ini. Dan  ini menjadikan metode ini berbeda dengan metode lainnya. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis adalah pendapat para ulama tersebut, bahkan pada aspek yang ketiga, sebagaimana telah disebutkan di atas, pendapat ulama itulah yang menjadi sasaran perbandingan. Oleh karena itu jika perbandingan dilakukan dengan tidak melakukan perbandingan pendapat para mufassir maka pola seperti itu tidak bisa disebut “ Metode Komparatif (Muqa>rin)”[34].
Dalam konteks ini  Al Farmawi menyatakan bahwa “ Muqa>rin adalah menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an yang berdasarkan pada apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufassir”[35]. Untuk mencapai tujuan ini adalah dengan memusatkan pada ayat tertentu yang akan dibahas dan melacak pendapat ulama tafsir  baik yang klasik (salaf) maupun ulama khalaf, serta membandingkan untuk mengetahui kecenderungan mereka, aliran-aliran yang mempengaruhi mereka serta keahlian yang mereka kuasai, dan lain sebagainya[36]. Menurut penulis mengutip pendapat Nashruddin Baidan, dari uraian di atas terdapat tiga aspek kajian yaitu perbandingan ayat dengan ayat, perbandingan ayat dengan hadis, dan perbandingan antara pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an[37].

3.  Langkah-Langkah yang ditempuh dalam Metode Muqa>rin
a.   Perbandingan Ayat dengan Ayat
Perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat, baik itu pemakaian mufradat, urutan kata maupun kemiripan redaksi, semua hal ini dapat dibandingkan. Jika yang akan dibandingkan itu memiliki kemiripan redaksi, maka langkah-langkahnya adalah sebagai berikut[38]:
1)   Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang tidak mirip.
2)   Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam suatu redaksi yang sama.
3)   Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang berbeda dalam menggunakan kata dan susunan dalam ayat.
4)   Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.

b.  Perbandingan Ayat dengan Hadits
Perbandingan penafsiran dalam aspek ini terutama yang dilakukan adalah terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang tampak pada lahirnya bertentangan dengan hadits-hadits Nabi yang diyakini Shahih, hadits-hadits yang dinyatakan dhoif tidak perlu dibandingkan dengan Al Qur’an, karena level dan kondisi keduanya tidak seimbang. Hanya hadits yang shahih saja yang akan dikaji dalam aspek ini apabila ingin dibandingkan dengan ayat-ayat Al Qur’an.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut[39]:
1)     Menghimpun ayat-ayat yang pada lahirnya tampak bertentangan dengan hadits-hadits Nabi, baik ayat-ayat tersebut mempunyai kemiripan redaksi dengan ayat-ayat lain atau tidak.
2)     Membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai di dalam kedua teks ayat dan hadits
3)     Membandingkan antara berbagai pendapat para ’ulama tasir dalam menafsirkan ayat dan hadits.

c.   Perbandingan Pendapat Mufasir
Apabila yang dijadikan objek pembahasan perbandingan adalah pendapat para ’ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat, maka metodenya adalah[40]:
1)     Menghimpun sejumlah ayat-ayat yang hendak dijadikan objek studi tanpa menoleh terhadap redaksinya itu mempunyai kemiripan atau tidak.
2)     Melacak berbagai pendapat ’ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
3)     Membandingkan pendapat-pendapat mereka untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan identitas dan pola berpikir dari masing-masing mufasir serta kecenderungan-kecenderungan dan aliran-aliran yang mereka anut.

4.  Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqa<rin
Kelebihan metode ini adalah dapat mengetahui perkembangan corak penafsiran para ulama salaf, sampai masa kini. Sehingga menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman bahwa al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai aspek sesuai dengan latar belakang dan pendidikan mufasir. Kekurangan metode ini adalah karena sifatnya yang hanya membandingkan maka pembahasan ayat kurang mendalam.[41]

E.  Metode Maudhu>’i
1.  Pengertian
Kata maudhu>’i berasal dari kata موضوع  yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع  yang artinya masalah atau pokok pembicaraan. Sedangkan metode maudhu>’i  itu sendiri adalah metode tafsir yang membahas ayat-ayat al-Qur’an tidak berdasarkan atas urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, akan tetapi sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala aspeknya seperti asbab al-nuzul, kosa kata, instinbath (penetapan) hukum, dan lain-lain[42].
Dengan demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dalam metode tafsir ini, maka sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap. Bahkan ketiga metode yang disebut sebelumnya, semuanya diterapkan secara intensif dalam metode ini[43]. Ringkasnya menurut penulis metode maudhu>’i  merupakan metode penyempurnaan dari metode-metode sebelumnya.

2.  Ciri-ciri Metode Maudhu>’i
Ciri utama metode ini adalah terfokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ada dalam al-Qur’an itu sendiri, maupun tema-tema yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dinilai sebagai metode yang sangat tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam kehidupan umat manusia. Dikarenakan ia dapat memberikan jawaban dengan konsep al-Qur’an terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia[44].

3.  Langkah-Langkah yang ditempuh dalam Metode Maudhu>’i
Langkah-langkah atau cara kerja metode tafsir maudhu>’i ini dapat dirinci sebagai berikut[45]:
a.       Memilih atau menetapkan masalah al-Quran yang akan di kaji secara tematik.
b.      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makiyah dan Madaniyah.
c.       Menyusun ayat-ayat tersebut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latarbelakang  turunnya ayat atau asbab al-nuzul.
d.      Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing surat.
e.       Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline).
f.        Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis bila di pandang perlu, sehingga pembahasan kian sempurna dan semakin jelas.
g.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash,  antara yang muthlaq dan muqayyad, mengsingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna sebenarnya tidak tepat.


4.  Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhu>’i
a.     Adapun kelebihan metode maudhu>’i  ini sebagai berikut[46]:
1)        Menjawab tantangan zaman
2)        Praktis dan sistematis
3)        Dinamis

b.    Adapun kekurangan metode ini antara lain[47]:
1)        Memenggal ayat al-Qur’an
2)        Membatasi pemahaman ayat

5.  Kitab-kitab Tafsir dengan Metode Maudhu>’i
Berbarengan dengan lahirnya berbagai faktor pendorong munculnya berbagai karya tafsir maudhu’i yang memenuhi khazanah perpustakaan Islam. Tokoh modern yang dianggap sebagai pelopor yang melahirkan corak tafsir ini adalah Syaikh Muhammad Abduh. Didalam Tafsir al-Manar, meskipun umumnya bercorak Tah}li>li>, terlihat jelas kecenderungan yang sangat kuat untuk memusatkan perhatian dan pembahasan kepada sebagian tema atau masalah tertentu. Kemudian disusul oleh lahirnya tafsir Syeikh Syaltut. Syeikh Syaltut inilah orang yang membangun dasar-dasar pokok tafsir maudhu’i. Sejak itu lahir dan terbitlah berbagai karya tafsir yang memuat bermacam-macam tema kajian tafsir maudhu’i tersebut. Diantaranya[48]:
1)   اَلْمَرْأة في القرأن , oleh al-Ustad Abbas al-‘Aqqad
2)   الرّبا فِي القرأن , oleh Abu al-A’la al-Mawdudy
3)   العقيدة في القُران الكريم, karya Muhammad Abu Zahrah
4)   الإنسان في القرأن الكريم , karya Ibrahim Mahna
5)   الوصايا العشر , oleh Syeikh Syaltut
6)   وصايا صورة الاسراء , Abd al-Hayy al-Farmawi

Referensi
[1]Lihat, Sam. S. Warib, Kamus Lengkap 5 Milliard Ingris-Indonesia; Indonesia Inggris (Jakarta: Sandro Jaya, tt), h. 142
[2] H. Anshori, Menafsirkan Al-Qur’an dengan Ijtihad (Jakarta: Referensi, 2012) h. 75
[3]M. Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 54
[4]Rifa’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhamad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta:Paramadina, 2002), h. 85, lihat,  M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1953), h. 178
[5] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 39
[6]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar llmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 178
[7] Ibid., lihat Acep Herman, Ulumul Qur’an Ilmu Untuk Memahami Wahyu (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h.113., lihat  Moh. Ali Ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 124
[8] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ibid., h. 179
[9] Rifa’at Syauqi Nawawi, op.cit., h. 86, lihat M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit.,
[10] Rifa’at Syauqi Nawawi, Ibid.,  h. 87
[11]Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, op.cit., h. 55, Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan 1, 1998) h. 2
[12] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an , h. 2
[13] Ibid.,
[14] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,  ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001 ), h. 113
[15] lihat, Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an,  op.cit., h. 67, lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an¸ op.cit., h. 13
[16] Lihat, H. Anshori, op.cit., h. 76
[17] Lihat, Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an , op.cit., h. 14
[18]Junianto Sitorus, Metode Tafsir Ijmali (http://juniantositorus.blogspot.com), diakses 26 Mei 2012, lihat, Rosihan Anwar,  Ilmu Tafsir, Cet.III, ( Bandung : Pustaka Setia, 2005 ), h. 159
[19] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an , op.cit., h. 22, lihat, H. Anshori, loc. cit.,
[20] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an , Ibid., h. 23
[21] Ibid., h. 24
[22] H. Anshori, loc. cit.,
[23] Acep Herman, op.cit., h. 118
[24]
[25] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 12, Lihat, Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007), h. 66
[26] Ibid., lihat, Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, op.cit., h. 31
[27] Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, ibid., h. 32-33
[28] Lihat Rohimin, op.cit.,h. 68-70
[29] H. Anshori, op.cit., h. 78-79
[30] Ibid., h. 79-80
[31] Nashruddin Baidan,  Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, op.cit., h.  32
[32] Lihat, Acep Herman, loc.cit.,
[33] Nashruddin Baidan,  Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, op.cit., h. 65
[34] Lihat, Nashruddin Baidan,  Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Ibid., h. 67-68
[35] Ibid., Lihat Abd. Al-Hayy al-Farmawi, op.cit., h. 30
[36] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,   loc.cit., lihat,  Abd. Al-Hayy al-Farmawi, loc.cit.,
[37] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,  Ibid.,
[38] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,  Ibid., h. 69
[39] Ibid., h. 93-94
[40] Ibid., h. 100-101
[41] Lihat, H. Anshori, op.cit., h. 87
[42] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an op.cit., h. 72, lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an op.cit., h. 151, lihat Acep Hermawan, loc.cit., lihat Rohimin, op.cit., h. 75
[43] Acep Hermawan, op.cit., h. 119
[44] Ibid.,
[45] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, op. cit., h. 45-46
[46] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an op.cit., h. `165-168
[47] Ibid.,
[48] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, op. cit., h. 58

Thanks You For Visiting | Jangan Lupa Comment ya....!
Share on Google Plus

About Unknown

Satrio Utama Nopenri (Rio Anderta)
Kontak:
FB: https://www.facebook.com/RioAnderta
Twitter: @Anderta
Instagram: rioanderta
Email: rioanderta90@gmail.com

0 comments:

Post a Comment