Bukan Alam Mimpi

Cerpen
BUKAN ALAM MIMPI
Fera Andriani Djakfar*

Bukan Alam Mimpi

Cerpen"Semalam ada lagi...!" Keluh Yasmin dengan suara serak seperti orang kurang tidur. Wajahnya pias. Di ruang tamu itu dia menggigil. Entah karena ketakutan atau kedinginan. Suhu udara pagi itu memang turun hingga enam derajat celcius saja.
"Kamu yakin itu bukan mimpi?" Tanya Sharihan memastikan. Sementara Lamya sudah ikut merinding ketakutan.
"Bentuknya seperti apa? Masih seperti kemarin dengan rambut panjang, kuku...."
"Stop! Sharihan, tolonglah! Aku tahu kamu pemberani. Tapi kalau sampai mengalami sendiri, pasti keadaanmu tidak jauh beda dengan Yasmin," protes Lamya.
Sementara yang diprotes hanya tertawa ringan. Dia masih melontarkan kalimat-kalimat menyeramkan yang membuat dua kawannya semakin kesal. Namun dia menghentikan aksinya saat melihat wajah Yasmin yang benar-benar memucat.
"Barangkali aku harus pindah dari sini," gumam Yasmin lirih. Dua kawannya serentak memandangnya heran.
"Kamu kan baru tiga bulan tinggal di sini? Masa dengan peristiwa yang tidak masuk akal seperti ini saja kamu akan pindah apartemen lagi?" Sharihan memberi pertimbangan dalam rangkaian pertanyaannya. Lamya mengangguk mengiyakan. Padahal dalam hatinya ada alasan lain. Yaitu apa jadinya apartemen ini jika salah satu ruangannya tidak berpenghuni? Jangan-jangan nanti malah dia yang didatangi oleh makhluk halus itu. Hiyy... batinnya merasa ngeri.
"Kesabaranku ada batasnya juga. Sudah dua minggu lebih aku mengalami hal ini. Dua minggu yang menyeramkan... bahkan yang terburuk dalam hidupku. Didatangi jin... brrhh!!" Yasmin bergidik lagi, lalu berpindah tempat duduk.
Sekarang di sofa ruang tamu itu ia berada di tengah-tengah, antara Sharihan dan Lamya. Tapi Lamya yang juga penakut ingin berpindah duduk di tengah pula. Jadilah mereka berdua berebut posisi di tengah. Sharihan yang jengkel dengan tingkah kawannya memilih untuk beranjak ke kamar.
"Jangan pergiii...!!" Protes dua kawannya. "Duduk sini saja...,"Pinta Lamya sambil menarik tangan Sharihan lalu memaksanya duduk bersama di sofa itu. Meski bersungut-sungut dia tidak tega beranjak dari ruang tamu, menemani dua kawannya yang penakut.
"Bukannya kami merasa kehilangan, sih. Tapi kalau hanya ada dua orang duduk di sofa, mana bisa kita berebut tempat di tengah?" Yasmin sudah mulai bercanda.
"Lho... kan ada si ehemmm...!" Goda Sharihan dengan gerakan menyeramkan. Dua kawannya berteriak histeris. Kemudian mereka tertawa bersama dalam canda. Kehangatan persahabatan yang mereka bina, menaklukkan dinginnya udara pagi di pertengahan Oktober itu. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah terlelap di ruang tamu itu. Kebiasaan tidur pagi selepas salat Shubuh dan baru bangun untuk bersiap-siap berangkat kuliah tidak bisa mereka tinggalkan. Namun sejak beberapa hari yang lalu, 'hobi' ini terpaksa harus dipindah ke ruang tamu. Yaitu sejak Yasmin mengatakan bahwa dia didatangi makhluk halus ketika tidur, sehingga dia minta ditemani oleh dua kawannya.
Mereka bertiga tinggal di sebuah apartemen sederhana di kawasan Jalan Tayran, Rab'ah el Adaweyah. Dekat dengan kampus putri Universitas Al Azhar Kairo. Sehingga mereka cukup dengan berjalan kaki saja jika pulang dan pergi kuliah. Apartemen yang terletak di lantai satu gedung nomor tiga puluh enam itu memang sangat tepat dihuni mahasiswi. Sebelumnya, Yasmin tidak tinggal di situ. Mereka berdua mengenalnya di ruang kuliah saja. Namun kemudian dia menggantikan Laila, kakak Lamya yang telah lulus dan kini sudah kembali ke kampung halamannya di Propinsi Zagazig, puluhan kilometer dari Kairo.
Tiba-tiba mereka bertiga dikejutkan oleh dering ponsel Yasmin. Berarti waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Yasmin selalu menerima telpon pada jam-jam yang sama. Sepertinya dari orang yang sama pula. "Ada apa, Tamir? Sudah, aku sudah bangun. Ya... belum. Apa? Oh, itu," potongan-potongan pembicaraan Yasmin tidak pernah bisa dimengerti oleh kedua kawannya. Apalagi setelah menanyakan kabar, dia menuju balkon lalu berbicara lama sekali di sana. Minimal lima belas menit. Terkadang setelah menerima telpon Yasmin tampak seperti orang bingung, dan bersikap aneh. Pada saat itu dua kawannya yang lain bergantian masuk kamar mandi terlebih dahulu, lalu bersiap-siap berangkat kuliah. Lebih baik dari pada menguping pembicaraan orang kasmaran, pikir Sharihan dan Lamya.
*********
"Tolooooong...!!" Teriak Lamya histeris, sambil berlari keluar dari kamarnya. Dia tampak bingung mau lari kemana, lalu diputuskannya untuk menerobos kamar Sharihan.
"Ada apa??" Sharihan terbangun karena kaget, apalagi melihat ekspresi wajah Lamya yang pucat pasi. Ditenangkannya sahabat yang sedang panik dan ketakutan itu. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Shubuh masih sekitar tiga jam lagi.
"Sharihan... di kamarku, ada... ada... kertas bertuliskan...hiyy...," Lamya menangis ketakutan. Yasmin ikut nimbrung ke kamar Sharihan juga. Dia juga tampak gemetar ketakutan.
"Baik, sekarang lebih baik kita bertiga mengambil air wudlu lalu salat malam. Setelah itu kita mengaji bersama sampai Shubuh. Bagaimana?" Usul Sharihan. Dua kawannya tidak memberi reaksi.
"Ya sudah, aku antarkan kalian ke kamar mandi. Ayo...!" Sambungnya lagi. Dia tetap tidak panik. Dua kawannya menurut. Mereka melakukan salat malam bersama, lalu membaca Al Quran. Setelah agak tenang barulah Lamya bisa bercerita.
"Tadi, di sebelahku, ada kertas bertuliskan PERGI DARI SINI... dengan tinta merah seperti..."
"Darah?" Tanya Sharihan hati-hati. Lamya mengangguk pelan.
Yasmin seperti mau menangis. "Tuh, apa kubilang? Sepertinya sekarang giliran Lamya yang didatanginya. Makanya, ayo pindah dari sini... aku tidak tahan lagi..!!"
"Ayo kita lihat ke kamar Lamya!" Ajak Sharihan tegas. Spontan dua kawannya menolak. Akhirnya dia nekat pergi sendiri. “Mana? Tidak ada apa-apa di sini...!!” teriaknya. Dua kawannya memberanikan diri masuk kesana. Dan memang benar, tidak ada hal yang aneh. Semua barang di kamar itu masih pada tempatnya, rapi. Tidak ada robekan kertas bertuliskan kata-kata dengan tinta darah seperti yang diceritakan Lamya. Sharihan berusaha menenangkan kawannya, namun Lamya tetap bersikeras kalau tadi yang dia lihat bukan mimpi.
Kali ini mereka bertiga benar-benar tidak dapat tidur lagi. Bahkan setelah salat Shubuh pun, hawa dingin tidak mampu merayu mereka untuk tidur pagi seperti biasanya.
*********
Seminggu kemudian kejadian yang dialami Yasmin masih terus saja berlangsung. Demikian juga yang dialami Lamya. Bahkan kata-kata yang tertulis di robekan kertas itu semakin sadis saja. Sharihan heran, mengapa dia tidak mengalami apapun? Pasti ada penjelasan yang logis untuk rentetan kejadian ini. Harus ada.
Sementara itu dua orang kawannya selalu mendesak untuk segera pindah apartemen. Padahal itu bukan hal yang mudah. Mereka harus menemui pemilik apartemen, dan menjelaskan alasan mereka mengapa harus pindah. Setelah itu, bisa jadi sang pemilik apartemen akan mengontrol keutuhan perabotannya. Lalu mereka masih harus mencari pengganti untuk tinggal di apartemen tersebut. Jika tidak, uang jaminan tidak akan kembali. Padahal jumlahnya lumayan besar. Lagi pula dia merasa enggan meninggalkan apartemen yang penuh kenangan itu. Ditambah lagi dengan sikap Tuan Abbas, pemilik apartemen yang meskipun tampak keras namun sebenarnya baik hati dan selalu menghormati janji. Tidak pernah beliau menaikkan harga sembarangan, kecuali setelah kompromi dan persetujuan kedua belah pihak.
“Sudah kalian pikirkan?” Tanya Sharihan setelah menjelaskan pada dua kawannya tentang susahnya pindah tempat tinggal. Lamya dan Yasmin mengangguk mantap. Rasa takut telah mendorong mereka untuk memilih keputusan itu.
“Lagi pula Yasmin sudah dapat info tentang apartemen lain,” kata Lamya.
“Oh, ya? Dimana?” Tanya Sharihan.
“El Hay Tsamin,” jawab Yasmin.
“Berarti agak jauh dari kuliah?” Tanya Sharihan seolah pada diri sendiri. Dia dan Lamya terbiasa tinggal di tempat yang dekat sekali dengan kuliah. Sehingga jarak antara El Hay Tsamin dan kampus putri yang sebenarnya bisa ditempuh hanya dengan dua puluh menit dengan trem listrik masih terasa jauh saja. Berbeda dengan Yasmin yang memang sering berpindah tempat tinggal.
“Hm... nanti dulu. Sepertinya aku punya kenalan yang akan pindah apartemen. Lokasinya di Abd el Rasul. Lumayan dekat, kan?” Sharihan ada ide cemerlang.
“Kemana sajalah. Asalkan jangan di rumah ini. Titik!” Lamya sudah tidak sabar. Sementara Yasmin masih bersikeras agar mereka pindah ke El Hay Tsamin. Dengan alasan uang sewa yang lebih murah serta dekat dengan tempat perbelanjaan. Alasan uang sewa lebih murah? Untuk ukuran seorang Yasmin itu alasan yang kurang masuk akal, pikir Sharihan.
Ponsel Yasmin dengan melodi khasnya mengagetkan mereka. Pembicaraan seputar makhluk halus, teror, dan perpindahan rumah telah menggantikan program tidur selepas Shubuh. Waktu menunjukkan pukul delapan.
“Selamat pagi juga, Tamir! Hm... iya. Tunggu saja! Apa? Sekarang? Tapi aku ada kuliah penting, Tamir. Tolonglah mengerti...,” potongan pembicaraan Yasmin yang masih bisa ditangkap oleh Sharihan. Selanjutnya Yasmin telah menuju balkon di sebelah ruang tamu, seperti biasanya. Sementara Lamya telah pergi ke kamar mandi, bersiap-siap untuk pergi kuliah. Ujian termin pertama sudah semakin dekat.
Sharihan masih berada di ruang tamu ketika Yasmin tiba-tiba masuk dengan mata sembab.
“Ada apa, Yasmin? Kamu sakit?” Yang ditanya hanya menggeleng. Sharihan menepuk pundaknya dengan lembut, ditatapnya mata sahabatnya itu dengan tajam. Yasmin menghindari tatapan itu. Sharihan yakin sahabatnya ini sedang menghadapi masalah.
“Tunggu sebentar, ya. Aku buatkan segelas teh dulu.” Sambil berkata demikian Sharihan berlalu ke dapur. Tak lama kemudian dia datang dengan membawa dua gelas teh panas. “Minumlah agar badanmu terasa hangat,” ujarnya. Yasmin terharu sekali dengan perhatian Sharihan. Dan ini bukan yang pertama kalinya. Lamya pun selalu bersikap baik padanya. Bersama mereka di apartemen itu hidupnya banyak mengalami perubahan, yang mendekati hal-hal positif tentunya.
“Tamir mengajak bertemu di taman sekarang juga.” Yasmin membuka suara setelah meminum seteguk teh di gelas yang dipegangnya. Sharihan menarik napas panjang. Dia tidak habis pikir mengapa Yasmin terlalu mengorbankan segala-galanya buat Tamir. Termasuk kuliahnya. Padahal sekarang ujian sudah semakin dekat. Tentunya banyak materi yang harus lebih banyak dipelajari secara serius. Apakah ini karena cinta? Barangkali saja demikian. Apalagi yang bisa membuat manusia menjadi buta?
“Yasmin, sekali-sekali kamu harus tegas. Kamu harus punya prinsip agar tidak terombang-ambing dan mudah diperintah oleh Tamir. Maaf kalau aku terlalu kasar,” pesan Sharihan sebelum bersiap-siap pergi ke kampus setelah melihat Lamya yang sudah rapi dengan jilbab Turki hijaunya.
Tegas? Sebenarnya Yasmin juga ingin. Toh dia dulu gadis yang tegas dan tegar hingga orang tuanya memberi izin untuk melanjutkan kuliah di ibu kota. Tapi sekarang aku menjadi sangat rapuh, pikirnya. Ah, mahalnya hutang budi.
*********
Dan memang benar. Sementara Sharihan dan Lamya pergi kuliah, Yasmin menuruti keinginan Tamir untuk bertemu di Taman Internasional. Terletak di kawasan Hay Zohour, tidak terlalu jauh dari apartemennya. Dia rupanya terlambat, karena Tamir telah barada di gerbang taman itu. Muka masamnya menunjukkan bahwa dia telah terlalu lama menunggu.
“Terlambat lagi!” Tegur Tamir dengan kasar. Yasmin hanya menggumamkan kata maaf. Dia tidak peduli Tamir mendengarnya atau tidak. “Bagaimana usahamu kali ini? Membuahkan hasil?” Tanya Tamir. Yasmin menggeleng.
“Kamu punya mulut untuk bicara, Nona!!” Panggilan seperti itu tidak pernah terlontar dari mulut Tamir sebelumnya. Barangkali Tamir sedang marah besar. Dua tahun bersama-sama telah membuat Yasmin memahami segala arti ucapan dan tabiat Tamir dengan baik. Namun akhir-akhir ini dia semakin susah ditebak. “Lihat aku! Kenapa kamu diam saja?” Sambil bertanya begitu dia mencengkeram lengan Yasmin. Diperlakukan begitu, sekuat tenaga Yasmin berontak. Dia meringis kesakitan.
“Oh, hahaha... sudah berani rupanya,” Tamir tertawa mengejek. Yasmin terngiang ucapan Sharihan tadi pagi bahwa dia harus tegas. Dia harus punya prinsip. Sekarangkah saatnya?
“Rencanamu kali ini untuk mengeluarkan mereka dari apartemen itu tidak berhasil. Mereka terlalu pandai untuk sekedar ditakut-takuti dengan cerita hantu,” papar Yasmin. Tamir berteriak kesal. Tak ubahnya anak kecil yang tidak dibelikan mainan. Yasmin semakin ngeri dengan sikap makhluk kasar di depannya. Dia tidak habis pikir mengapa dulu ia sempat menaruh hati padanya. Ah, pahlawan itu kini telah berubah menjadi monster yang menyeramkan!
“Alaaah... kamu saja yang bodoh. Pasti caramu salah dan kurang hati-hati sehingga mereka tahu bahwa ini semua hanya rekaan.” Rupanya Tamir benar-benar kesal karena apartemen tempat tinggal Sharihan dan Lamya sudah lama diincar bosnya. Lokasi yang dekat dengan kampus sangat strategis untuk membuka cabang kios foto kopi maupun warung internet. Bibit-bibit ketamakan telah bersemi dalam otak bisnisnya.
“Oh, ya? Aku bodoh? Bukankah selama ini aku selalu berhasil mengeluarkan orang-orang dari apartemennya? Maaf, si bodoh ini punya batas kesabaran juga... Tuan Tamir!” Tandas Yasmin dengan panggilan “Tuan” untuk menyindir laki-laki itu. Satu langkah mulai dia ambil untuk memperoleh ketegasannya kembali.
Dikeluarkannya ponsel dari dalam tas. Disodorkannya benda mungil itu ke tangan si pemberi. Selama ini dia sangka lelaki di hadapannya tulus. Ternyata dia salah besar, dan merasa telah dimanfaatkan untuk memperlancar bisnisnya. Tamir pun mengambil kembali ponsel itu dengan kesal.
“Terima kasih atas bantuan Anda selama ini, Tuan Tamir! Tapi aku tidak bisa terus-terusan begini. Semakin hari Anda semakin kasar saja...” Yasmin tidak menyangka bahwa kalimat-kalimat yang akhir-akhir ini hanya dia pendam akhirnya keluar juga. Bisa jadi karena dia telah tersiksa, menangis setiap kali dapat telpon dari laki-laki itu. Sahabat-sahabatnya menyangka ketika dia berbicara di balkon, ada obrolan mesra yang tidak ingin diganggu orang lain. Padahal Yasmin hanya butuh waktu untuk menghilangkan jejak yang ditinggalkan air mata di pipinya.
Yasmin menatap mata Tamir dengan tajam. Untuk pertama kalinya dia melakukan itu. “Aku sudah bosan berbohong dan bersandiwara. Apalagi sekarang calon korbanmu adalah sahabat-sahabat sejati yang sangat baik padaku. Aku tidak bisa...!”
“Inikah balasanmu padaku, Yasmin? Setelah dulu kau yang masih sangat lugu kuselamatkan dari gangguan para pemuda liar yang ingin merenggut kehormatanmu?” Seru Tamir. Selalu. Itulah yang tiap waktu dan tiap saat dia ungkit-ungkit hingga membuat Yasmin terjebak dalam perangkap berlabel balas budi.
Memang, Yasmin pernah diselamatkannya dua tahun yang lalu. Ketika itu taksi yang ditumpanginya seorang diri membawa dia menyulusuri jalanan yang sangat asing baginya. Sebagai orang baru di Kairo, Yasmin memang sangat lugu. Di daerah asalnya, Wahhat yang permai, dia selalu percaya pada setiap orang. Kesalahan besar jika hal itu dia terapkan di Kairo. Karena ternyata sopir taksi itu bersekongkol dengan beberapa pemuda yang telah mencegat di lorong yang sepi. Saat itu datanglah Tamir bak dewa penyelamat. Dia berhasil mengalahkan gerombolan pemuda liar itu, membawanya lari jauh, lalu mengantarkannya pulang dengan selamat. Sejak saat itu pula Tamir sering mengantar jemput Yasmin kemanapun dia pergi. Dengan alasan keamanan, katanya.
“Aku tidak akan melupakan jasa Anda, Tuan Tamir. Selamanya tidak akan kulupakan. Tapi jangan Anda gunakan itu untuk memaksaku agar menuruti semua keinginan Anda!” Ujar Yasmin. Sebuah kekuatan telah menyusup di jiwanya. Sejenak terlintas senyuman Sharihan dan Lamya. “Hitung saja seluruh uang dan apa saja yang pernah Anda berikan padaku. Akan aku bayar. Meskipun sebenarnya Anda telah mengambil lebih banyak lagi dariku. Kebebasan, impian,dan waktu berhargaku yang seharusnya kuhabiskan bersama sahabat-sahabat sejatiku! Selamat tinggal...!” Kemudian Yasmin segera berlalu dari hadapan Tamir. Sayup-sayup terdengar teriakan kasarnya.
“Kamu tidak akan bisa lepas dariku, Yasmin. Tidak akan bisa... hahaha...!!
Bisa! Aku harus bisa! Yasmin menjawab dalam hati. Ah, selama ini dia terlalu naif. Disangkanya pertemuan antara dia dan Tamir yang mirip kisah-kisah dalam film laga itu akan berakhir dengan kisah romantis seperti yang dia saksikan dalam cerita-cerita epik picisan.
Sementara Tamir benar-benar menghitung segala biaya yang selama dua tahun ini dia keluarkan. Dia akan meminta ganti rugi dari bosnya. Mulai dari uang untuk pergi ke kampus putri mengamati dan mencari gadis lugu dari propinsi luar Kairo, membayar si sopir taksi gadungan dan membungkamnya dengan puluhan Pound Mesir, membayar gerombolan anak berandal dengan berkardus-kardus rokok, biaya isi ulang pulsa setiap bulan selama dua tahun, dan uang transportasi maupun konsumsi ketika mereka “berkencan”. Tapi dia berpikir lagi. Buat apa susah-susah menghitung biaya terlalu teliti begitu? Toh dia sudah mendapat bonus besar dari bosnya setiap kali berhasil memperalat Yasmin untuk mengusir para penghuni apartemen tertentu yang terletak di tempat strategis. Sehingga sang bos berhasil membuka warung internet, toko peralatan kantor, kios foto kopi, studio foto, dan banyak lagi. Lagi pula, dua tahun bersama-sama gadis secantik Yasmin tidak ada ruginya. Tamir tersenyum penuh kemenangan. Dia tidak merasa kehilangan. Tinggal mencari gadis lain lagi. Urusan sepele. Toh Yasmin bukan yang pertama dia perlakukan begitu.
*********
Dari taman tadi, Yasmin menyempatkan diri untuk mengikuti materi kedua hari itu. Dan memang benar, banyak hal yang harus dia kejar di kuliah. Ah, baru terasa rugi setelah dekat ujian. Penyesalan memang selalu di belakang. Tapi dia merasa sangat lega. Ternyata beban yang selama ini menghimpitnya berasal dari Tamir si pahlawan kesiangan itu. Kuliah tentang perbandingan agama yang dibawakan oleh DR.Kautsar tidak sepenuhnya dia cerna. Yang ada dalam pikirannya hari itu hanyalah segera pulang dan bertemu sahabat-sahabatnya. Akan dia ceritakan semuanya, juga tentang asal mula jin pengganggu yang selama ini menghantui apartemen mereka. Semoga tidak terlambat. Sebab dia tidak melihat dua sahabatnya di ruang kuliah.
*********
Setibanya di apartemen, Yasmin sangat terkejut. Dua kawannya sedang sibuk mengepak barang.
“Yasmin, kami sudah belikan kardus-kardus kosong buatmu. Ayo, lebih baik kita segera berkemas!” Ajak Sharihan sambil menata buku-bukunya ke dalam kardus. Lemari dan rak bukunya sudah kosong. Demikian juga Lamya.
“Maaf, kami mengepak duluan. Nanti kalau kami selesai agar bisa membantumu juga,” ujar Lamya tulus. “Kami bela-belain cuma ikut kuliah jam pertama saja, lho buat rencana perpindahan ini. Maklum, sudah akhir bulan. Mendingan kalau memang niat pindah, sekarang saja agar mudah membuat akad baru di apartemen baru kita nanti.
Rasa bersalah semakin memenuhi relung-relung hati Yasmin. Sahabat-sahabatnya memang tidak pernah pamrih. Tapi dia... ah! Apa yang bisa dia lakukan untuk menebus kesalahannya?
“Ehmm... kita serius mau pindah?” Tanyanya hati-hati. Dua sahabatnya melotot.
“Yang tadi pagi merengek-rengek mau pindah siapa? Kamu harus tegas, Yasmin. Jangan jadikan kami korban kerapuhanmu. Kamu plin-plan sekali!” Ucapan Sharihan mengundang air matanya. Dia menangis sedih. Dia takut sikap sahabat-sahabatnya berubah jika tahu kejadian sebenarnya.
Lamya yang lembut segera memeluknya dan meminta maaf atas ucapan Sharihan. Diajaknya Yasmin ke balkon untuk berbicara dari hati ke hati. Cerita pun mengalir. Tentang siksaan batin Yasmin selama ini, tentang asal mula segala fasilitas yang dia pakai selama ini, tentang Tamir dan kekasarannya. Tak lupa tentang kebiasaan uniknya selalu berpindah apartemen setiap dua bulan yang hanya bertujuan mengusir para penghuninya dari sana. Cara yang dia gunakan bermacam-macam. Mulai dari teror pencurian, adu domba, hingga cerita hantu. Hanya bersama Sharihan dan Lamya saja dia masih mampu bertahan hingga tiga bulan. Tentu saja karena ketulusan persahabatan dari mereka berdua, dan sifat Sharihan yang susah dipengaruhi dengan aneka cerita takhayul.
Tiba-tiba Sharihan yang rupanya telah berdiri di belakang mereka tertawa tergelak. Dia sudah menguping pembicaraan Yasmin dan Lamya.
“Oh, jadi si Tamir itulah hantu sebenarnya!” Ujar Sharihan terkikik. Dua kawannya menoleh.
“Kamu tidak marah lagi?” Tanya Yasmin hati-hati.
“Yach, tadi aku memang kesal juga. Tapi sekarang justru berterima kasih padamu.” Mendengar itu Yasmin mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Sementara Lamya yang sudah paham maksud Sharihan jadi tersenyum.
“Kenapa begitu?” Tanya Yasmin semakin penasaran, karena Sharihan justru masuk ke ruang tamu dan duduk santai di sofa sambil melemaskan otot-ototnya yang sejak tadi lelah mengepak barang.
“Kita tidak jadi pindah. Dan berkat kamu, uang sewa apartemen turun hingga tinggal setengahnya saja. Lamya, cepat hubungi Tuan Abbas pemilik apartemen ini. Segera, ya!”
“Haadlir, ya Sayyidati)*!” Canda Lamya. Yasmin semakin tidak mengerti. Sharihan lama-lama tidak tega juga melihat ekspresi sahabatnya.
“Yasmin sayang, tadi pemilik apartemen yang memang tinggal dekat dari sini mengunjungi kita kemari, dan melihat kita telah mengemasi barang-barang. Sewaktu beliau menanyakan penyebabnya, Lamya bercerita dengan lengkap tentang peristiwa yang kita alami. Tapi Tuan Abbas tidak percaya dan memaksa kita untuk tetap bertahan di sini, serta menurunkan harga agar kita tetap bertahan.”
“Kenapa sampai begitu?” tanya Yasmin.
“Sebab, peristiwa seperti jin dan semacamnya jika sampai tersebar akan membuat orang-orang takut tinggal di sini. Beliau bisa rugi besar jika tidak ada yang mau menyewa apartemennya. Terbukti, bukan? Bahwa orang-orang pemberani sepertiku jarang terdapat. Hehehe...” Canda Sharihan. Yasmin sudah bisa tersenyum.
“Ups, nyaris saja. Ternyata ada yang menelpon Tuan Abbas dan mau menyewa apartemen ini. Untungnya kita diberi batas waktu untuk memberi keputusan hingga pukul dua siang. Lima menit saja kita terlambat, apartemen ini akan diambil orang.” Papar Lamya setelah menghubungi pemilik apartemen.
“Barangkali itu Tamir dan gengnya,” Yasmin menebak.
“Ala kulli hal, alhamdulillah...! Apartemen dipertahankan, dan harga turun selama setahun ini....” Sharihan tampak gembira sekali. Meski terlanjur berkemas, dia tidak merasa rugi. Sekarang tinggal menelpon calon pemilik apartemen baru bahwa mereka membatalkan rencana pindah ke sana. Beliau tidak akan marah, sebab banyak juga yang antri mau tinggal di apartemennya.
“Hm... berarti....” Ucapan Yasmin menggantung.
“Berarti apa?” tanya Lamya.
“Berarti... aku tidak perlu minta maaf, kan? Iya, kan? Hahaha...” candanya. Dua sahabatnya segera melempari dia dengan bantal-bantal kecil yang ada di ruang tamu. “Enak saja. Bantu kami merapikan kamar, memasak selama seminggu, nyuci baju-baju...,” ujar Sharihan sambil memukuli Yasmin dengan bantal bertubi-tubi. Lamya pun tidak kalah “sadis”. Pukulan-pukulan persahabatan yang membangunkan Yasmin dari alam mimpi buruk, kembali ke dunia nyata.
*********
Rab’ah El Adaweya, 28 Januari 2003
*Penulis, asal Bangkalan, Madura, Mahasiswi tingkat akhir, Universitas Al-Azhar, Kairo.
Share on Google Plus

About Unknown

Satrio Utama Nopenri (Rio Anderta)
Kontak:
FB: https://www.facebook.com/RioAnderta
Twitter: @Anderta
Instagram: rioanderta
Email: rioanderta90@gmail.com

0 comments:

Post a Comment