Syarat-Syarat diterimannya Riwayat Seorang Periwayat Hadits | Jarh Wa Ta'dil


Welcome to Mata Air Ilmu | Center of Excellence

Jarh Wa Ta'dil
Syarat-Syarat diterimannya Riwayat Seorang Periwayat Hadits
oleh
Satrio Utama Nopenri
Syarat-Syarat diterimannya Riwayat Seorang Periwayat Hadits | Jarh Wa Ta'dil


Menurut jumhur ulama hadits sepakat bahwa terdapat dua syarat pokok diterima riwayat seorang periwayat hadits yaitu periwayat bersifat adil dan periwayat bersifat dhabit [1]. Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat hadits disebut 'Adil. Menurut Al-Hakim[2], berpendapat bahwa seseorang disebut 'Adil apabila beragama islam, tidak berbuat bid'ah, tidak berbuat maksiat. Ibn al-Shalah[3], menetapkan lima kriteria seorang periwayat yang disebut 'Adil, yaitu beragama islam, baligh, berakal, memelihara Muru'ah, dan tidak berbuat Fasik. Sementara itu Ibn Hajar al-Asqalani [4]menyatakan bahwa sifat 'Adil dimiliki seorang periwayat hadits yaitu taqwa, memlihara muru'ah, tidak berbuat dosa besar misalnya syirik, tidak berbuat bid'ah dan tidak berbuat fasik.

Banyaknya kreteria yang dikemukakan oleh ulama hadits di atas dapat diringkas menjadi empat kriteria yaitu; beragama islam, mukalaf, melaksanakan ketentukan agama dan memelihara muru'ah[5].

1. Beragama Islam

Keislaman merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh periwayat yang adil. Menurut sebagian ulama, menyatakan hadits berkenaan dengan sumber ajaran islam. Orang yang tidak beragama islam, bagaimana mungkin dapat diterima beritanya tentang ajaran islam. Hanya orang yang beragama islam saja yang dapat diterima beritanya tentang sumber ajaran islam.

2. Berstatus Mukalaf

Menurut para ahli hadits, syarat berakal itu identik dengan kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi agar dapat menanggung dan menyampaikan suatu hadits, seseorang harus memasuki usia akil baligh[6]. Orang yang belum atau tidak memiliki tanggung jawab tidak dapat dituntut apa yang diperbuat dan dikatakannya.

3. Melaksanakan Ketentuan Agama

Orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama Allah tidak meresa berat membuat berita bohong, baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus, dalam hal ini hadits nabi. Karenanya, orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama Allah tidak dapat dipercaya beritanya, termasuk berita yang disandarkan kepada rasul.

4. Memelihara Muru'ah

Menurut Ibn Qudamah, Muru'ah rasa malu , orang yang memelihara rasa malunya berarti orang itu memelihara muru'ahnya. Orang yang memelihara muru'ahnya tidak akan membuat berita bohong. Karena, membuat berita bohong adalah perbuatan hina, perbuatan hina adalah perbuatan yang selalu dihindari oleh orang yang memelihara muru'ahnya.

Untuk mengetahui 'Adil tidaknya periwayat hadits, para ulama hadits telah menetapkan beberapa cara yaitu[7]:
  1. Melalui popularitas keutamaan periwayat hadits di kalangan ulama hadits.
  2. Penilaian dari para kritikus periwayat hadits
  3. Penerapan kaidah jarh wa ta'dil

Syarat yang kedua adalah periwayat bersifat Dhabit, secara sederhana kata Dhabit dapat diartikan dengan kuat hafalan[8]. Menurut Ibn Hajar al-Asqalaniy dan al-Sakhawiy[9], yang dinyatakan dengan orang yang dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya. Prof. Dr. M. Syudi Islamil dalam bukunya Kaidah Keshahihan Sanad Hadis[10], kriteria dhabit menurutnya adalah:
  1. Periwayat hadits harus memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar (diterimanya).
  2. Periwayat itu hafal dengan baik apa yang telah didengarnya
  3. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan baik, kapan saja dia menghendakinya.

Sebagian ulama tidak mengaharuskan periwayat memahami dengan baik riwayat hadits yang telah dihafalnya (diterimanya), dengan pertimbang bahwa[11]; apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah dihafalnya itu. Yang dipentingkan bagi seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkan. Pertimbangan pertama tidak cukup kuat karena orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu yang dihafalnya. Karena itu, menurutnya, pertimbangan kedua merupakan dasar ke-dhabit-an periwayat menurut sebagian ulama.

Sebagaimana halnya periwayat yang 'Adil, periwayat yang dhabit dapat diketahui melalu beberapa cara[12]:
  1. Ke-dhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan pernyataan kesaksian ulama
  2. Ke-dhabitan periwayat dapat diketahui juga berdasar kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabitannya, baik kesesuaian sampai pada tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah
  3. Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhabit asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadits, maka tidak disebut dhabit.


Footnote

[1].Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (2),( cetakan ke 6, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1958), h. 18. [2].Lihat, Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,(Cetakan I, Jakarta: Kencana, 2010), h. 162., lihat pada kitab aslinaya, Al-Hakim al-Naysaburi, Ma'rifah 'Ulum al-Hadits,(Kairo: Maktabah al-Mutanabbih,tth), h. 53. [3].Ibid [4].Ibid [5].Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad HadisL: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,(cetakan III, Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 161-174 [6].Dr. Subhi ash-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Hadis,(Cetakan I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 115. [7]. Dr. Idri, M.Ag, op. cit., h. 162 [8].Ibid., h. 164.
[9]. Lihat, Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 140. [10]. Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 141. Lihat, Dr. Idri, M.Ag, op. cit., h.165-166 [11].Ibid [12] Ibid., h. 167.
<![endif]-->DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shalih, Subhi.1993. 'Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Hadis Cet I. Jakarta: Pustaka Firdaus

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1958. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (2)Cet VI Jakarta: PT Bulan Bintang
Idri.2010. Studi Hadis Cet I. Jakarta: Kencana
Ismail, H.M. Syuhudi. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad HadisL: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah Cet III, Jakarta: Bulan Bintang 


Thanks You For Visiting | Jangan Lupa Comment ya....!

 
Share on Google Plus

About Unknown

Satrio Utama Nopenri (Rio Anderta)
Kontak:
FB: https://www.facebook.com/RioAnderta
Twitter: @Anderta
Instagram: rioanderta
Email: rioanderta90@gmail.com

0 comments:

Post a Comment