Penyejuk Hati : Berkaca Diri Mengevaluasi Amalan

Penyejuk Hati
Berkaca Diri Mengevaluasi Amalan

Penyejuk Hati  Berkaca Diri Mengevaluasi Amalan

Agar penampilan tubuh indah atau lebih baik, berkaca jadi sesuatu yang penting. Bagaimana wajah kita, lekuk-lekuk atau guratannya bisa terlihat jelas di cermin. Segar atau sayukan wajah ini, terlihat pula di dalamnya. Dari sinilah muncul keinginan untuk memperbaiki keadaan tubuh. Rambut yang tidak karu-karuan kita benahi setelah berkaca. Wajah yang telihat kotor berdebu segera dibersihkan dengan air. Kalau perlu ditambahi susu pembersih dan masker. Pakaian yang sudah tidak layak pakai diganti, kalau perlu dicuci. Rapilah keadaan tubuh kita setelahnya.
Hampir sama keadaannya dengan hati. Debu, daki dan kotoran seringkali menempel erat di hati ini. Perjalanan kehidupan yang panjang memang selalu membekaskan noda, kusut dan debunya pada hati ini. Berbagai medan dan cuaca membuatnya terjerembab jatuh bangun. Tak ada seorang pun yang terbebas darinya. Itulah wujud dari dosa, kemaksiatan, kesalahan, dan kealpaan. Benda-benda tersebut yang membekaskam pekat kekotoran dalam hati. Meski untuk sebagiannya Allah memberikan kemaafan kepada hamba-Nya. Firman Allah SWT yang artinya,
“ Ya rabb kami, janganlah engkau hokum kami jika kami lupa atau kami bersalah…
(al-Baqorah: 286)
Rasulullah pun pernah bersabda,
“ Sesungguhnya Allah memberikan maaf kepada umatku untuk kesalahan- tak sengaja tersalah- dan lupa yang mereka perbuat dan apa yang mereka dipaksa.”
Kejelekan- kejelekan tadi menjadikan hati ini semakin kelam, hitam, gelap sehingga kebeningannya sirna. Cahaya yang sebelumnya masuk menjadi tertahan karena terhalang debu yang menempel padanya. Kotoran yang bertambah- tambah itu akan semakin melenyapkan kehidupan hati.
“ Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (al-Muthaffifin: 14)
Walau demikian, manusia tak selalu tersadar dengan kotoran yang hinggap pada hatinya. Bahkan ia terus saja berjalan menyusuri jalan kehidupan tak peduli dengan apa yang berada di ujung jalanan itu. Ia tak sadar bahwa keadaan ujung jalan yang dituju sangat berkait dengan bersihnya hati dari kotoran itu tadi. Ia tak akan meraih keselamatan tanpa hati yang bersih.
“40. Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. 41. mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang zalim, 42. dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka Itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya” (al-A’raaf: 40-42)
Mereka yang hatinya kotor akibat mendustakan ayat-ayat Allah dan kesombongan tidaklah akan selamat di kehidupan akhirat.
Sesal Kemudian Tiada Berguna
Kesadaran yang tak kunjung hadir membuahkan penyesalan di ujung jalan. Kecewa, menyesal, dan sedih bakal bertumpuk di akhirnya. Wujud kekecewaan ini digambarkan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an.
“ dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.”(al-Furqon: 27)
Karena kecewanya, tak hanya satu jari yang digigit namun seluruh jari bahkan kedua tangan digigit  untuk menyatakan penyesalan yang tiada taranya. Sayangnya, kecewa itu tak bermanfaat apapun kecuali hanya menambah kesedihan. Itu karena tiada lagi kesempatan untuk memperbaiki diri. Bahkan masing-masing hanya bisa berangan untuk dikembalikan lagi menyelusuri kehidupan dunia.
“99. (Demikianlah Keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, Dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia),100. agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah Perkataan yang diucapkannya saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.”(al-Mukminun: 99-100)
Atau berangan agar tubuhnya diratakan saja dengan tanah sehingga tidak mengalami hisab---perhitungan amal.
“ Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya Sekiranya dahulu adalah tanah".(an-Naba: 40)
Kekecewaan itu mungkin bisa dieliminir sebelumnya, jika seorang manusia selalu waspada. Mau mecermati keadaan diri ketika berada diperjalanan menuju kampong akhirat. Di sinilah perlunya seseorang untuk berkaca hati dan mengevaluasi diri. Melihat penampilan hati dan amalan diri.
Bagaimanakah keadaan hati? Apakah segar, kuat, rapi, dan bersih? Ataukah sebaliknya, jelek, lemah, kusut dan kotor. Melihat pula pada berbagai amalan sepanjang kehidupan yang menyebabkan hati menjadi kotor. Berapa banyak pula amalan kebajikan yang membuat penampilan hati menjadi indah yang telah dikerjakan sepanjang perjalanan. Ini kemudian diistilahkan dengan muhasabah. Yaitu aktivitas mengevaluasi diri, menghitung-hitung amalan kebajikan maupun amalan kejelekan yang telah diperbuat. Meninjau hati seberapa bersih dan kelamnya dengna timbangan kesesuaian amalan dengan sunnah dan ikhlasnya kepada Allah SWT. Dan tentunya aktivitas semacam ini taka hanya dilakukan di penghujung atau di awal tahun baru saja. Bahkan mengkhususkannya pada kedua waktu ini tiada contohnya dari para pendahulu yang salih. Namun aktivitas muhasabah hendaknya dilakukan sebelum, setelah bahkan ketika melakukan amalan.
Laksana pedagang
Seorang yang melakukan evaluasi diri ibarat seorang pedagang yang menjalankan usahanya. Setiap hati ia selalu mengevaluasi bisnisnya. Beruntung atau merugikah dagangannya? Bila diketahui bahwa dirinya merugi sepanjang hati itu maka ia segera menyusun langkah baru untuk hari kemudian agar tak lagi rugi. Bahkan berstrategi  agar mendapatkan keuntungan lebih untuk menutup kerugian yang dideritanya. Sebaliknya, bila mendapatkan keuntungan maka ia akan berusaha mempertahankannya, atau bahkan berupaya untuk medapatkan keuntungan lain yang lebih besar.
Hampir tidak beda keadaannya dengan seorang muslim. Ia memandang bahwa dosa dan perbuatan kemaksiatan merupakan perkara yang menyebabkan kerugiannya. Dan amalan kebajikan (salih) adalah keutungannya. Maka setiap hari ia menghitung untung rugi kehidupannya. Bila di hari tadi ia melakakukan amalan dosa dan maksiat maka ia berusaha untuk segera menghilangkan kerugian tadi.
Kalau ia membiarkan dosa itu terus bercokol ibaratnya ia menggali kubur sendiri. Mencelakkan diri dan menyebabkan kebangkrutan bagi kehidupannya sendiri. Maka ia pun bersegera untuk menghilangkan kebangkrutannya dengan cara banyak beristighfar memohon ampun kepada Allah SWT. Karena taubat dan istighfar mampu merontokkan kekotoran yang hinggap di hati.
“Sesungguhnya jika seorang mukmin mengerjakan dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat dan beristighfar maka hatinya menjadi bersih. Jika dosanya bertambah, bertambah pula noda hitamnya hingga menutupi hatinya.” (HR. an-Nasa’I dan at-Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan sahih)

Tengoklah assalafus salih
          Cobalah tengok keadaan para pendahulu yang salih. Muhasabah diri merupakan aktivitas yang selalu lekat dengan mereka. Mengamalkan perintah Allah SWT;
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hasyr: 18)
Firman Allah SWT “ hendaklah setiap diri merperhatikan,” adalah perintah untuk mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap diri atas apa yang diperbuatnya untuk menyongsong hari esok. Aktivitas muhasabah mendorong manusia untuk menyadari berbagai kekurangan yang ada pada diri. Sehingga wajarlah bila Umar bin Khattab mengatakan “ Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab.” Dan Thalhah jika disibukkan oleh perkebunannya hingga ia tak bisa menghadiri salat berjamaah, maka ia mengeluarkan sedekah di jalan Allah SWT dari perkebunannya. Ini tidak lain merupakan bentuk muhasabah terhadap dirinya dan kemarahanya terhadap dirinya.
Dengan evaluasi seseorang akan mampu mengetahui keberhasilan dan kegagalan usaha dan programnya. Langkah-langkah setelahnya bisa diambil untuk memperbaiki kegagalan atau menambah kesuksesannya. Sehingga diri ini kembali kepada Allah dalam keadaan bersih dari berbagai kekotoran. insyaAllah, Allahu’alam
Sumber: Majalah El-Fata edisi 04/III/2003
Share on Google Plus

About Unknown

Satrio Utama Nopenri (Rio Anderta)
Kontak:
FB: https://www.facebook.com/RioAnderta
Twitter: @Anderta
Instagram: rioanderta
Email: rioanderta90@gmail.com

0 comments:

Post a Comment